Senin, 19 Juli 2010

Kern Icterus

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
2005


BAB I

PENDAHULUAN

Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.

Pada beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna menjadi kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik dan dapat merusak otak.

Bayi baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja mengalami kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi masalah ini. Bila timbul ikterus, dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan transfusi tukar (exchange transfusion).

Beberapa tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, tidur yang berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui sangat kurang, serta kelemahan umum.

Pada kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, terlebih bila bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan prognosis kern ikterus buruk.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KERN IKTERUS

2.1. Definisi

Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak1, 2, 3, 6.

2.2. Insidensi

Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit2, 7, 9.

Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus.

Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu:

- Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter.

- Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian.

- Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit pada bayi mereka.

- Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar bilirubin yang belum selesai5, 6,8,10.

2.3. Klasifikasi

Stadium 1

Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang.

Stadium 2

Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.

Stadium 3

Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.

Stadium 4

Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola mata ke atas, displasia mental1.

2.4. Etiologi

Penyebab kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggio yang dapat mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak.

Kadar bilirubin yang tinggi merupakan kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh:

Ikterus fisiologis:

- Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar.

- Defek pengambilan bilirubin plasma.

- Defek konjugasi bilirubin.

- Ekskresi bilirubin menurun.

Ikterus patologis:

- Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati.

- Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom.

- Polisitemia.

- Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik, dan penyakit hirschprung.

- Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi aliran empedu1,2,3.

2.5. Patogenesis

Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi otak.

Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI, kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus.

Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi2.

Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata, talamus, globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama2, 9, 10.

2.6. Kriteria Diagnosis

Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.

Tanda-tanda dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut2.

Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau “disfungsi otak minimal” yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak masuk sekolah2,4,5, 7.

2.7. Diagnosis Banding

2.7.1.Sepsis

Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia.

Kriteria diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak sehat, tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, netropenia absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive Protein.

2.7.2. Asfiksia

Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif, akumulasi CO2, dan asidosis.

2.7.3. Hipoglikemia

Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, mempunyai kadar glukosa darah <>

Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding.

2.8. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan kadar bilirubin.

Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi.

- Pemeriksaan fungsi otak: EEG

Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.

2.9. Pengobatan

2.9.1. Transfusi Tukar

Jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan.

Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di bawah kadar yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi kesan kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit, sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif2.

Procedure

Teknik transfusi tukar:

§ Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat.

§ Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana magna.

§ Gunakan darah segar dari donor darah (<>

§ Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau mengandung heparin.

§ Transfusi ganti diberikan biasanya 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B (diharapkan dapat menggantikan darah bayi 87 %). Setiap kali menukar/mengambildan memasukkan darah sebesar 10-20 ml (tergantung toleransi bayi.

§ Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya: asfiksia dan hipoglikemia)

§ Bayi-bayi yang disertai anemia (HT<35 style="">partial exchange dengan PRC (25-80 ml/kg BB) sampai HT naik menjadi 40 %. Bila keadan sudah stabil, lakukan transfusi untuk mengatasi hiperbilirubinemia.

§ Jika mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg BB.

§ Pembantu mencatat volume darah yang ditukar, mengobservasi tanda vital bayi dan bisa melakukan resusitasi.

§ Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena.

§ Donor darah harus dihangatkan pada suhu 27-37oC.

§ Setiap 100 ml darah dikocok.

§ Alat steril.

§ Darah segar dipasang dengan infus set. Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan kateter v.umbilikalis.

§ Minimalisir efek samping dan tiap tahapan berlangsung 3-5 menit.

§ Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis, bisa dilakukan di v. Safena magna.

§ Kateter jangan terbuka terhadap udara.

§ Dengan jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium pratransfusi; Hb, urea N, elektrolit, kalsium, gula, SGOT,SGPT, osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur.

§ Masukkan darah segar 20 ml perlahan, dilakukan sampai selesai.

§ Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti diberi 1 ml kalsium glukonas 10%.

§ Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi untuk pemeriksaan pasca transfusi.

§ Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh diberi minum.

Transfusi dihentikan bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia, gangguan pembekuan, dan perforasi pembuluh darah.

Komplikasi transfusi tukar; gangguan vaskular, kelainan jantung, gangguan elektrolit, koagulasi, infeksi, hipotermia, dan hipoglikemia.

2.9.2. Fisioterapi

Untuk bayi yang sudah mengalami cacat akibat kadar bilirubin terlalu
tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki
kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi
intelek (kognitif). Dengan cara ini diharapkan kemampuan si anak
sebisanya mendekati normal.

2.10. Prognosis

Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining pendengaran2.

2.11. Pencegahan

- Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.

- Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi, transfusi tukar.

Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti dapat memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat ini masih terus dikembangkan4.

Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk transfusi darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko cedera neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2.

Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan2.

- Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit.

- Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit.

- Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus5.

Tabel 1.

Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.

Berat Badan Lahir (gram)

Tidak Ada Komplikasi

(g/dL)

Ada Komplikasi*

(g/dL)

<>

1000-1250

1251-1499

1500-1999

2000-2500

12-13

12-14

14-16

16-20

20-22

10-12

10-12

12-14

15-17

18-20

*Komplikasi meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.

Tabel 2.

Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang sehat tanpa hemolisis.

Umur

(Jam)

Fototerapi

(g/dL)

Fototerapi & Persiapan Transfusi Tukar*

(g/dL)

Transfusi Tukar Jika Fototerapi Gagal

(g/dL)

<>

24-48

49-72

> 72

> 2 minggu

**

15-18

18-20

20

***

**

25

30

30

***

**

20

25

25

***

* Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif harus dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat pada kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar.

** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat.

*** Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2 minggu dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan pemberian terapi maka harus diamati secara rinci, karena ikterus ini paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.


BAB III

KESIMPULAN

Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh tingginya kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.

Kern ikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik. Penanganan ikterus harus mengikutsertakan semua aspek secara menyeluruh , mulai dari peran orang tua, tenaga medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya kern ikterus serta rehabilitasi pasca kern ikterus.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
  2. Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New Yorkl. 17th edition. Saunders. 596-598.
  3. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-103
  4. http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
  5. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus.htm
  6. http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
  7. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0603/21/hikmah/konsultasi.htm
  8. http://adam.about.com/surgery/100018.htm#
  9. http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
  10. http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299

SILAHKAN DINIKMATI, BUKAN BUATAN SENDIRI, HANYA ARSIP DARI SENIOR

3 komentar: