FAKULTAS KEDOKTERAN
2005
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak mudah. Dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak. Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara pun yang bebas tuberkulosis.
TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan
Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin akan menjadi positif.
Tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit TB.
BAB II
URAIAN
- Patogenesis
Penularan biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nucleus ukuran 1-5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus.
Di sini basil tuberkulosis berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari pejamu karena belum ada kekebalan awal. Di dalam alveolus akan memfagsitosis sebagian basil spesifik. Makrofag di dalam alveolus akan memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tersebut tetapi belum mampu membunuhnya sebagian basil TB dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang biak. Basil TB yang menyebar melalui saluran limfe regional. Sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ tubuh. Di dalam organ tersebut akan terjadi pemrosesan dan transfer antigen ke limfosit.
Imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan basil TB lebih lanjut. Dengan demikian lesi TB akan sembuh dan tidak ada tanda dan gejala klinis. Pada sebagian kasus imunitas spesifik yang terbentuk tidak cukup kuat sehingga terjadi penyakit TB dalam 12 bulan setelah infeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi setelah lebih dari 12 bulan setelah infeksi.
Kurang lebih 10% individu yang terkena infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit TB diperbesar pada balita, pubertas dan akil balik. Juga keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas memperbesar kemungkinan sakit TB, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya yang lama, demikian juga pada diabetes melitus dan silikosis.
Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB dapat dilihat pada uji kulit dengan tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi.
Dalam waktu 2-10 minggu ini juga terjadi cell-mediated immune response. Setelah terjadi infeksi pertama, basil TB yang menyebar ke seluruh badan suatu saat di kemudian hari dapat berkembang biak dan menyebabkan penyakit. Penyakit TB dapat timbul dalam 12 bulan setelah infeksi, tapi dapat juga setelah 1 tahun atau lebih. Lesi TB paling sering terjadi di lapangan atas paru.
Efusi pleura dapat terjadi setiap saat setelah infeksi primer. Efusi biasanya terjadi karena tuberkuloprotein dari paru masuk ke rongga pleura sehingga terjadi reaksi inflamasi dan terjadi pengumpulan cairan jernih di dalamnya.
Selama infeksi primer berlangsung basil TB bersarang di kelenjar limfe hilus dan mediastinum, dan dapat juga bersarang di kelenjar limfe lainnya. Infeksi di kelenjar tersebut dapat langsung berkembang menjadi TB aktif, dapat aktif beberapa tahun kemudian atau tidak pernah menjadi aktif sama sekali. Lesi primer dan lesi di kelenjar limfe regional disebut kompleks primer.
TB milier dapat terjadi pada masa dini, tetapi dapt juga terjadi setelah beberapa waktu kemudian akibat erosi fokus di dinding pembuluh darah. TB milier dapat mengenai banyak organ misalnya selaput otak, sehingga terjadi meningitis. Dapat juga mengenai tulang, ginjal dan organ lain.
Pada individu normal respons imunologik terhadap infeksi tuberkulosis cukup memberi perlindungan terhadap infeksi tambahan berikutnya. Risiko terjadinya reinfeksi tergantung pada intensitas terpaparnya dan sistem imun individu yang bersangkutan (host=pejamu)
Pada pasien dengan infeksi HIV terjadi penekanan pada imun respons. Jadi kalau terkena TB sering terjadi TB yang berat dan sering gambaran klinik TB dengan HIV berbeda dengan TB biasa.
- Pendekatan Diagnosis TB Paru
Pada umunya berdasarkan hasil uji tuberkulin, foto rontgen paru dan gambaran klinis sudah dapat ditegakkan diagnosis kerja tuberkulosis. Tetapi pada kenyataannya menegakkan diagnosis TB pada anak tidak selalu mudah.
Gejala klinik TB terdiri atas gejala umum atau sistemik (seperti demam, anoreksia, berat badan menurun, keringat malam dan malaise), dan gejala khusus sesuai dengan organ yang terkena.
Diagnosis dini biasanya dapat ditegakkan kalau dilakukan uji tuberkulin secara rutin pada setiap anak yang datang berobat. Kalau gejala klinis sudah jelas misalnya adanya limfadenitis di leher, meningitis ata gibbus berarti TB sudah berlanjut atau berkomplikasi.
Pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tanda klinis maka TB dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif, kelainan foto paru dan biakan basil TB yang positif.
Gejala dan tanda klinis TB tidak khas. Gejala yang didapat biasanya lesu, anoreksia, berat badan menurun, demam tidak tinggi yang berlangsung lama, kadang-kadang juga timbul gejala seperti influensa. Kadang-kadang demam merupakan satu-satunya gejala yang ada.
Pada anak dengan TB sering tidak ditemukan tanda dan gejala, dan satu-satunya petunjuk adanya TB adalah uji tuberkulin positif.
TB milier dapat menimbulkan gejala akut berupa demam, sesak nafas dan sianosis, tetapi dapat juga menimbulkan gejala kronik yang disertai gejala sistemik. Gejala umum dapat disertai gejala rangsangan meningeal, ditemukannya tuberkel pada funduskopi, hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati.
Pada anak kecil tidak selalu disertai batuk, reak atau hemoptisis seperti pada TB dewasa. Batuk tidak selalu merupakan gejala utama dan jarang ada batuk darah.
Batuk dapat terjadi karena iritasi oleh kelenjar yang membesar dan menekan bronkus. Pada anak besar gejalanya dapat seperti pada orang dewasa, misalnya batuk dengan reak dan dapat juga terjadi hemoptisis.
Gambaran klinis TB di luar paru sesuai dengan organ yang terkena. TB kelenjar limfe superfisialis paling sering mengenai leher dan supraklavikula. Juga dapat mengenai aksila, inguinal dan submandibula.
Conjunctivitis phlyctenularis dapat erjadi pada anak dengan TB, bahkan tidak jarang TB baru terdeteksi karena adnya phlycten.
Pada TB milier dapat ditemukan tuberkel koroid pada funduskopi.
Uji tuberkulin dapat menunjukkan infeksi tuberkulosis. Infeksi M.tuberkulosis membentuk sensitifitas terhadap beberapa komponen antigen basil TB yang menjadi bahan pembuatan tuberkulin.
Ada 2 jenis tuberkulin yang dipakai yaitu OT (Old Tuberkulin) dan Tuberkulin PPD (Purified Protein Derivatif) dan ada 2 jenis tuberkulin PPD yang dipakai yaitu PPD-S (Seibert) dan PPD-RT23. Uji tuberkulin dibaca setelah 48-72 jam. Diameter indurasi 10 mm atau lebih dinyatakan positif, diameter 5-9 mm masih meragukan dan harus dinilai lagi.
Imunisasi BCG dapat juga menyebabkan uji tuberkulin positif. Tetapi uji tuberkulin akibat imunisasi BCG biasanya tidak kuat reaksinya sehingga meskipun telah ada parut BCG kalau reaksi 15 mm atau lebih harus dicurigai adanya superinfeksi alami basil TB. Infeksi Mycobacterium atipik dapat juga menyebabkan uji tuberkulin positif, tetapi biasanya reaksinya kecil.
Kadang-kadang diperlukan pengulangan uji tuberkulin untuk memastikan ada tidaknya infeksi TB, tetapi sebaiknya uji tuberkulin dilakukan dengan tuberkulin yang sama 1-2 minggu kemudian untuk mencegah efek booster.
Gambaran foto rontgen paru pada TB anak tidak selalu khas. Biasanya kecurigaan ke arah TB muncul kalau ditemukan pembesaran kelenjar hilus, paratrakeal dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi efusi pleura, kavitas, emfisema lobus dan gambaran milier.
Pemeriksaan bakteriologis TB untuk mendapatkan bahan pemeriksaan bakteriologis berupa sputum pada anak sangat sukar, sebagai gantinya biasanya dilakukan bilasan lambung karena cairan lambung mengandung sputum yang tertelan. Cairan ini pun sebenarnya kurang memuaskan disamping kesulitan untuk mendapatkan biakan metode pembiakan basil TB memerlukan waktu cukup lama sehingga dibutuhkan suatu metode pembiakan yang lebih baik. Saat ini dipakai sistem BACTEC.
Serodiagnosis. Uji serologis TB umumnya dilakukan dengan cara ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), untuk mendeteksi antibodi IgG terhadap cord factor berguna untuk serodiagnosis paru aktif. Titer antibodi faktor anti cord menurun sampai normal setelah pemberian obat anti tuberkulosis. Uji peroksidase-anti-peroksidase (PAP) merupakan uji serologis imunoperoksidase yang menggunakan kit histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
Teknik biomolekuler. Reaksi rantai polimerase (PCR-Polimerase Chain Reaction) merupakan pemeriksaan yang sensitif. PCR menggunakan DNA spesifik yang dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam bahan pemeriksaan seperti sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau darah. Dengan PCR mungkin juga dapat dideteksi adanya resistensi basil TB terhadap obat anti tuberkulosis. Teknik biomolekular PCR merupakan harapan meskipun manfaatnya dalam bidang klinik berlum cukup diteliti.
- Penatalaksananaan
Medikamentosa
Obat TB yang digunakan
1. Isoniazid
INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml.
INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer, tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau fenitoin dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3x harga normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning.
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg INH.
Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD, dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan artritis.
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20mg/kgbb/hari, maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian perhari. jika diberikan bersama INH, dosis rifampisin tidak melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH tidak melebihi 10mg/kgbb/hari. Seperti halnya INH, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan diginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH.
Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat menyebabkan trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan.
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30mb/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2g/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg. efek samping PZA adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan hiperurisemia jarang timbul pada anak.
4. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan dosis tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anak-anak.
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
Paduan obat TB
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 2 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman, juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi ketidak teraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Obat-obat baku untuk seagian besar kasus TB pada anak adalah paduan rifampisin, INH dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, INH, dan pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan INH. Pada keadaan TB berat baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain pada fase intensif diberikan minimal 4 macam obat (rifampisin, INH, PZA, EMB, atau streptomisin) sedangkan fase lanjutan diberikan rifampisin dan INH selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama.
Evaluasi hasil pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Apabila berespon pengobatan baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan, maka pengobatan dilanjutkan. Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan, maka obat anti TB tetap diberikan dengan tambahan merujuk ke sarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak.
Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdpat perbaikkan klinis, seperti berat badan mengingkat, napsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan dapat dihentikan. Jika masih terdapat kelainan gambaran radiologis maka dianjurkan pemeriksaan radiologis ulangan.
Non medika mentosa
1. Pendekatan DOTS
DOTS adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut.
- komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
- Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
- Pengobatan dengan panduan OTA jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO)
- Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
- Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penganggulangan TBC
2. Sumber penularan dan case finding
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Selain itu perlu dicari pula anak lain di sekitarnya yang mungkin tertular dengan uji tuberkulin. Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnestik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tuberkulin.
3. Aspek sosial ekonomi
Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio ekonomi, karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka memerlukan biaya yang cukup besar. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.
4. Pencegahan
a. BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml diberikan intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dulu. Kontra indikasi pemberian imunisasi BCG adalah deficiensi imun, infeksi berat, dan luka bakar.
b. Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB pada anak, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit. Pada kemoprofilaksis primer, diberikan INH dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Obat dihentikan jika sumber kontak sudah tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi (setelah uji tuberkulin ulangan). Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita, menderita morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik, dan kortikosteroid) usia remaja dan infeksi TB baru. Konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan.
BAB III
TUBERKULOSIS MILIER
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi.TB milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat penyebaran kuman M.tuberkulosis dari kompleks primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama setelah infeksi awal. TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia dibawah 2 tahun, karena imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier dapat terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer yang tidak adekuat atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman.
Terjadinya TB milier dipengaruhi 3 faktor yaitu kuman M.TB (jumlah dan virulensi), status imunologis penderita (non spesifik dan spesifik) dan faktor lingkungan. Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat menyebabkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, penggunaan kortikosteroid jangka lama.
Manifestasi Klinis
Gejala yang sering dijumpai adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti anoreksia dan berat badan turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa demam), demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak napas.
TB milier diawali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi tanda dan gejala penyakit saluran napas belum ada. Demam kemudian bertambah tinggi suhunya dan berlangsung terus menerus/kontinyu, tanpa disertai gejala saluran napas atau disertai gejala minimal, dan rontgen paru biasanya masih normal. Beberapa minggu kemudian, pada hampirdi semua organ, terbentuk tuberkel difus multipel, terutama di paru, limpa, hati, dan sumsum tulang. Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak napas disertai ronkhi atau mengi. Dapat juga terjadi gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid jika ditemukan lebih dini dapat merupakan tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier.
Meningitis TB dan peritonitis TB dapat ditemukan pada pasien yang penyakitnya sudah berat. Sakit kepala kronik atau berulang biasanya merupakan gejala telah terjadinya meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan pungsi lumbal. Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau pembengkakan abdomen.
Lesi milier dapat terlihat pada rontgen paru dalam waktu 2-3 minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, berupa tuberkel halus (milli) yang tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3 mm). Lesi kecil dapat begabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju dapat dilihat pada rontgen paru.
Diagnosis
Diagnosis TB milier pad anak dibuat berdasarkan adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif), gambaran radiologis yang khas, gambaran klinis, serta uji tuberkulin yang positif. Uji tuberkulin tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting pada anak. Uji tuberkulin yang negatif belum tentu tidak ada infeksi atau penyakit TB atau sebaliknya.
Pemeriksaan sputum atau bilasan lambung dan kultur M.tuberculosis tetap penting dilakukan. Untuk menentukan diagnosis dini, bilasan lambung atau pemeriksaan sputum kurang sensitif dibandingkan pemeriksaan bakteriologik dan histologik dari biopsi hepar atau sumsum tulang.
Untuk menentukan diagnosa meningitis TB, pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pada setiap pasien TB milier walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan
Dengan pemberian 4-5 macam OAT selama 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin selama 4-6 bulan sesuai dengan perkembangan klinis. Kortikosteroid diberikan pada TB milier, meningitis TB, perikarditis TB, efusi pleura TB, dan peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 4-8 minggu kemudian diturunkan perlahan-lahan hingga 2-6 minggu kemudian.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat. Respons keberhasilan terapi antara lain adalah hilangnya demam setelah 2-3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada rontgen dada berangsur-angsur menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai beberapa bulan.
KESIMPULAN
TB masih merupakan masalah mortalitas dan morbiditas di negara-negara berkembang. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita Tb dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV, maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan. Diagnosis TB pada anak sering sulit karena gambaran rontgen paru dan gambaran klinis tidak selalu khas dan sedangkan penemuan basil TB sulit.
- Nastiti N Rahajoe, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2005. Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI : 33-50
- Noenoeng Rahajoe, dkk. Perkambangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat Ini. 1994. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI : 161-179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar