FAKULTAS KEDOKTERAN
2006
ISI
LATAR BELAKANG
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).
Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media, mastoiditis, trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya.
PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:
Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun ( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor)
TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal.
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.
FREKUENSI
Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus meningitis terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .
Gambar 2. Kasus Meningitis di Amerika Serikat pada tahun 2003
Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4 kasus/100.000 anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae meningitis adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi meningitis pada neonatus adalah 0,25-1 kasus/1000 kelahiran hidup. Pada kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000 kelahiran aterm sedangkan pada kelahiran preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum berhubungan dengan meningitis bakterial.
MORTALITAS-MORBIDITAS
Sebelum ditemukannya antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial cukup tinggi. Dengan adanya terapi antimikroba, mortalitas menurun tapi masih tetap dikhawatirkan tinggi. 19-26% mortalitas diakibatkan karena meningitis oleh Sterptococcus pneumoniae, 3-6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% oleh Neisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi pada usia tua.
RAS
Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan pada populasi Kaukasia dan Hispanik.
JENIS KELAMIN
Bayi laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram negatif dibanding bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap meningitis oleh Listeria monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama untuk bayi perempuan maupun laki-laki.
USIA
Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada anak dengan usia kurang dari 2 tahun.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
● Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya disertai febris dan fotofobia.
● Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.
Gambar 3. Kaku kuduk (nuchal rigidity) pada penderita meningitis
● Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf.
● Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka panjang.
● Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.
● Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
● 6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
● Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.
● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi meningitis:
› Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.
› Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
› Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap pertumbuhan bakteri di meningen.
ETIOLOGI
* Etiologi meningitis neonatal
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas.
Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter diversus dan Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga menderita abses otak.
* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.
› Streptococcus pneumoniae meningitis
Gambar 4. Streptococcus pneumoniae
Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.
› Neisseria meningitidis meningitis
Gambar 5. Neisseria meningitidis
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.
› Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis
Gambar 6. HIB
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae.
› Listeria monocytogenes meningitis
Gambar 7. Listeria monocytogenes
Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak immunocompromised. Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering disalahartikan sebagai Streptococcus hemolyticus atau diphteroid.
› Etiologi lain-lain
Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia, Proteus dan diphteroid.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
- Abses otak
- Tumor otak
- Vaskulitis SSP
- Lead encephalopathy
- Meningitis fungal
- Meningitis tuberculosis
- Tuberculoma
- Stroke
- Encephalitis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan LCS.
Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan herniasi.
Gambar 8. Tabung spesimen LCS
Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total leukosit dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan gram dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler
Agent | Opening Pressure | WBC count per mL | Glucose (mg/dL) | Protein (mg/dL) | Microbiology |
Bacterial meningitis | 200-300 | 100-5000; >80% PMNs* | <40 | >100 | Specific pathogen demonstrated in 60% of Gram stains and 80% of cultures |
Viral meningitis | 90-200 | 10-300; lymphocytes | | Normal but may be slightly elevated | Viral isolation, PCR† assays |
Tuberculous meningitis | 180-300 | 100-500; lymphocytes | Reduced, <40 | Elevated, >100 | Acid-fast bacillus stain, culture, PCR |
Cryptococcal meningitis | 180-300 | 10-200; lymphocytes | Reduced | 50-200 | India ink, cryptococcal antigen, culture |
Aseptic meningitis | 90-200 | 10-300; lymphocytes | | Normal but may be slightly elevated | Negative findings on workup |
Normal values | 80-200 | 0-5; lymphocytes | 50-75 | 15-40 | Negative findings on workup |
Tabel 1. Gambaran Liquor Cerebrospinal pada meningitis berdasarkan agen etiologiknya.
Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari spesimen LCS, darah atau urin. Test jenis ini bermanfaat pada penderita meningitis dengan riwayat pengobatan belum lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada LCS tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita.
Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif dan S. pneumoniae serotipe tertentu yang memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang dengan poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik dibandingkan rapid diagnostic test.
PARTIALLY TREATED MENINGITIS (PTM)
Beberapa anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Dosis kecil antimikroba oral atau bahkan pemberian antimikroba secara intravena dosis tunggal tidak mengubah hasil pemeriksaan LCS termasuk kultur bakteri khususnya pada penderita HIB meningitis.
Hasil kultur dari spesimen LCS dapat menjadi steril secara cepat jika patogen penyebabnya adalah pneumococcus atau meningococcus walaupun perubahan sitologis dan kimiawi tetap eksis. Karena hal ini maka diperlukan test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila terjadi kesulitan untuk membedakan antara PTM dengan meningitis viral (aseptik) maka lumbal punksi dapat diulang dalam rentang waktu 24 jam. Pada kasus meningitis viral, pleositosis LCS dan perubahan kimiawi cenderung untuk kembali menuju nilai normal.
PENATALAKSANAAN
*Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis.
Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus mencapai normal.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran.
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan: memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.
*Terapi antimikroba untuk neonatus
Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasuk Streptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS.
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan Enterococcus sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration) yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.
Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau penicillin juga memiliki efek sinergis melawan Streptococcus grup B dan Enterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya resistensi.
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida.
Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh basil gram negatif.
Antibiotics (dosage in mg/kg/day) | Route Of Administration | Body weight <2000> | Body Weight <2000> | Body Weight >2000 g | Body Weight >2000 g |
Age 0-7 days | Age > 7 days | Age 0-7 days | Age > 7 days | ||
Penicillins | |||||
Ampicillin | IV,IM | 100 div q12h | 150 div q8h | 150 div q8h | 300 div q6h |
Penicillin-G | IV | 100,000 U div q12h | 150,000 U div q8h | 150,000 U div q8h | 250,000 U div q6h |
Oxacillin | IV,IM | 100 div q12h | 150 div q8h | 150 div q8h | 200 div q6h |
Ticarcillin | IV,IM | 150 div q12h | 225 div q8h | 225 div q8h | 300 div q6h |
Cephalosporins | |||||
Cefotaxime | IV,IM | 100 div q12h | 150 div q8h | 100 div q12h | 150 div q8h |
Ceftriaxone | IV,IM | 50 once daily | 75 once daily | 50 once daily | 75 once daily |
Ceftazidime | IV,IM | 100 div q12h | 150 div q8h | 100 div q8h | 150 div q8h |
Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia
Anti biotics | Route of Admini stration | Desired Serum Levels (mcg/ml) | New born Age ≤26 weeks (mg/kg/ dose) | New born Age 27-34 weeks (mg/kg/ dose) | New born Age 35-42 weeks (mg/kg/ dose) | New born Age ≥43 weeks (mg/kg/ dose) |
Aminoglycosides | ||||||
Amikacin | IV,IM | 20-30 (peak) <10 (trough) | 7.5 q24h | 7.5 q18h | 10 q12h | 10 q8h |
Gentamycin | IV,IM | 5-10 (peak) <2,5 (trough) | 2.5 q24h | 2.5 q18h | 2.5 q12h | 2.5 q8h |
Tobramycin | IV,IM | 5-10 (peak) <2,5 (trough) | 2.5 q24h | 2.5 q12h | 2.5 q12h | 2.5 q8h |
Glycopeptide | ||||||
Vancomy cin | IV,IM | 20-40 (peak) <10 (trough) | 15 q24h | 15 q18h | 15 q12h | 15 q8h |
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan berdasarkan usia
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak
Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis bakterial sangat penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan untuk melawan 3 patogen umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae. Umumnya terapi dimulai dengan pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan cefotaxime atau ceftriaxone.
Beberapa evidence-based medicine menyarankan penggunaan carbapenem (misalnya meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang resisten terhadap cephalosporin. Peran antibiotik baru seperti oxazolidinone (linezoid) masih dalam penelitian.
Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat mengurangi efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian kortikosteroid pada terapi meningitis.
Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak dapat dilakukan. Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik dalam serum dan diberikan hanya jika tidak tersedia obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan mual muntah berkurang.
Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi vancomycin dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping chloramphenicol tidak diinginkan maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau trovafloxacin.
Penggunaan antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam, sulbactam untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih kurangnya data mengenai daya penetrasinya ke dalam SSP.
Penggunaan antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadang-kadang diulang sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi. Tetapi pemeriksaan ulang ini tidak dapat memprediksi adanya relaps atau rekrudesensi meningitis. Misalnya HIB dapat terus bertahan dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis yang berhasil. Karena alasan ini, penderita perlu diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di rumah atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N. meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.
Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga penderita dengan febris perlu untuk dievaluasi ulang.
Antibiotics | Dose (mg/kg/day) | Dosing Interval | Maximum Daily Dose |
Ampicillin | 400 | q6h | 10 g |
Vancomycin | 60 | q6h | 4 g |
Penicillin G | 250,000 U | q6h | 24 million |
Cefotaxime | 200-300 | q6h | 12 g |
Ceftriaxone | 100 | q12h | 4 g |
Chloramphenicol | 100 | q6h | 4 g |
Ceftazidime | 150 | q8h | 6 g |
Cefepime | 100 | q12h | 4 g |
Imipenem | 60 | q6h | 4 g |
Meropenem | 120 | q8h | 6 g |
Rifampin | 20 | q12h | 600 mg |
*Pemberian dexamethasone
Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi dexamethasone (0,15 mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam 24 jam, kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna. Pemantauan yang dilakukan sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan dengan kegunaan dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae meningitis kurang meyakinkan. Selain mengurangi reaksi inflamasi, pemberian dexamethasone dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.
*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi
Peningkatan tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara signifikan. Gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial tidak spesifik di antaranya vomitus, stupor, bulging fontanelle, palsy nervus VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat mengalami herniasi otak. Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor, gangguan pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea, dekortikasi atau deserebrasi.
Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien osmolalitas ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak ke dalam ruang intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan pemberiannya dapat diulang bila diperlukan.
Dexamethasone sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi data terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan furosemid juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi efikasinya pada penderita meningitis belum dapat ditunjukkan pada controlled trials.
*Antikonvulsi
Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang adekuat dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara intravena. Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit cukup efektif dalam mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk kejang.
Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium) diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV tiap 12 jam untuk mencegah timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan) yaitu suatu benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat tersebut dapat menyebabkan henti napas atau jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis
Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang yang kontak dengan penderita harus segera mencari pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari.
* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak dengan penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan ‘kontak’ adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama dengan penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum diagnosis ditegakkan.
Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.
* Imunisasi
Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.
Gambar 9. Contoh vaksin HIB (Act-HIB)
Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat adanya wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y, W-135 dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan imunodefisiensi, penderita dengan asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen. Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan. The Advisory Committee on Imunization Practices (ACIP) menganjurkan penggunaan vaksin ini untuk siswa sekolah yang tinggal di asrama-asrama.
KOMPLIKASI
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.
PROGNOSIS
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.
KESIMPULAN
- Meningitis merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa dan memberikan sekuelae yang bernakna pada penderita
- Pemberian terapi antimikroba merupakan hal penting dalam pengobatan meningitis bakterial di samping terapi suportif dan simptomatik
- Pencegahan meningitis dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilaksis.
- Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and
- Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of Medicine.
- www.alb.ac.be/sciences/biodic/ImBacterie2.htm
- www.infectionsnetz.at/view.php?name=bakterien
- www.msnbc.msn.com/id/7994214/
- www.surgerydoor.co.uk/livingwith/detail2.asp
- www.thachers.org/internal-medicine.htm
minta copas gan,,, lumayan tambahan bahan nih hahaa
BalasHapus