BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
2005
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara endemis tinggi Hepatitis B dengan prevalensi HbsAg positif di populasi antara 7-10%. Pada kondisi seperti ini, transmisi vertikal dari ibu yang berstatus HbsAg positif ke bayinya memegang peranan penting. Di lain pihak, terdapat perbedaan patofisiologi antara infeksi Hepatitis B yang terjadi pada awal kehidupan dengan infeksi Hepatitis B yang terjadi pada masa dewasa. Infeksi yang terjadi pada awal kehidupan, atau bahkan sejak dalam kandungan (transmisi dari ibu dengan HBsAg positif), membawa resiko kronisitas sebesar 80-90%.
Resiko kematian yang terjadi pada infeksi HBV biasanya berhubungan dengan kanker hati kronis atau sirosis hepatis yang terdapat pada 25% penderita yang secara kronis terinfeksi sejak kecil. Jika tidak terinfeksi pada masa perinatal, maka bayi dari ibu HBsAg positif tetap memiliki resiko tinggi untuk mengidap infeksi virus Hepatitis B kronis melalui kontak orang ke orang (transmisi horizontal) pada 5 tahun pertama kehidupannya Sedangkan infeksi pada masa dewasa yang disebabkan oleh transmisi horizontal memiliki resiko kronisitas hanya sebesar 5%.
Berdasarkan imunopatogenesis Hepatitis B, infeksi kronis pada anak umumnya bersifat asimtomatik. Di satu pihak, anak tersebut tidak menyadari bahwa dirinya sakit. Di pihak lain, anak tersebut merupakan sumber penularan yang potensial.
Dalam rangka memotong transmisi infeksi Hepatitis B, maka kunci utama adalah imunisasi Hepatitis B segera setelah lahir, terutama pada bayi-bayi dengan ibu yang memiliki status HbsAg positif.
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Faktor Resiko
Faktor resiko terbesar terjadinya infeksi HBV pada anak-anak adalah melalui transfer perinatal dari ibu dengan status HBsAg positif. Resiko akan menjadi lebih besar apabila sang ibu juga berstatus HbeAg positif. 70-90% dari anak-anak mereka akan tumbuh dengan infeksi HBV kronis apabila tidak diterapi. Pada masa neonatus, antigen Hepatitis B muncul dalam darah 2.5% bayi-bayi yang lahir dari ibu yang telah terinfeksi. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran infeksi dapat terjadi pula intra uterine. Dalam beberapa kasus, antigenemia baru timbul belakangan. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi terjadi pada saat janin melewati jalan lahir. Virus yang terdapat dalam cairan amnion, kotoran, dan darah ibu dapat merupakan sumber. Meskipun umumnya bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi menjadi antigenemis sejak usia 2-5 tahun, adapula bayi-bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif tidak terpengaruh hingga dewasa. (Zhang, 2004)
Anak-anak yang mengidap infeksi kronis Hepatitis B memiliki resiko tinggi untuk memiliki penyakit hati yang berat, termasuk karsinoma primer sel hati, seiring dengan bertambahnya usia. Pada umumnya jarang terjadi karsinoma sel hati pada anak-anak karena puncaknya adalah pada dekade ke-5 kehidupan, namun beberapa kasus dapat pula terjadi pada anak-anak. Resiko tertinggi umumnya terjadi pada bayi-bayi yang terpapar infeksi saat lahir atau pada awal-awal masa kanak-kanak.
Banyak penelitian telah dilakukan mengenai transmisi yang terjadi pada anak-anak dengan ibu yang memiliki status HBsAg negatif. Transmisi dapat terjadi sebelum anak-anak tersebut menerima vaksinasi Hepatitis B sesuai jadwalnya. Resiko tertinggi terjadinya transmisi pada anak-anak dengan ibu yang status HBsAgnya negatif adalah melalui terjadinya imigrasi. (Lu, 2004)
Ditemukan bahwa tanpa resiko persalinan yang tinggi, maka jarang terjadi infeksi virus Hepatitis B kronis pada perinatal, kecuali pada bayi-bayi dengan nilai Apgar yang rendah. Hal ini mungkin berhubungan dengan terjadinya peningkatan dan perbaikan pada perawatan sebelum kelahiran (prenatal care/PNC). Bagaimanapun juga, status karier pembawa HBsAg positif merupakan faktor resiko ibu dan neonatus, terutama pada negara-negara berkembang dimana tingkat karier HBsAg cukup tinggi. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya infeksi virus Hepatitis B kronis pada kehamilan dengan komplikasi pada populasi dengan tingkat infeksi virus Hepatitis B kronis yang tinggi
II.2 Patofisiologi
Transmisi pada neonatus pada umumnya adalah transmisi vertikal, artinya bayi mendapat infeksi dari ibunya. Infeksi pada bayi dapat terjadi apabila ibu menderita hepatitis akut pada trimester ketiga, atau bila ibu adalah karier HBsAg. Bila ibu menderita Hepatitis pada trimester pertama, biasanya terjadi abortus. Transmisi virus dari ibu ke bayi dapat terjadi pada masa intra uterine, pada masa perinatal, dan pada masa postnatal. (Matondang, 1984)
Kemungkinan infeksi pada masa intra uterine adalah kecil. Hal ini dapat terjadi bila ada kebocoran atau robekan pada plasenta. Kita menduga infeksi adalah intra uterine bila bayi sudah menunjukkan HBsAg positif pada umur satu bulan. Karena sebagaimana diketahui masa inkubasi Hepatitis B berkisar antara 40-180 hari, dengan rata-rata 90 hari. (Matondang, 1984)
Infeksi pada masa perinatal yaitu infeksi yang terjadi pada atau segera setelah lahir adalah kemungkinan cara infeksi yang terbesar. Pada infeksi perinatal, bayi memperlihatkan antigenemia pada umur 3-5 bulan, sesuai dengan masa inkubasinya. Infeksi diperkirakan melalui “maternal-fetal microtransfusion” pada waktu lahir atau melalui kontak dengan sekret yang infeksius pada jalan lahir. (Matondang, 1984)
Infeksi postnatal dapat terjadi melalui saliva, air susu ibu rupanya tidak memegang peranan penting pada penularan postnatal. Transmisi vertikal pada bayi kemungkinan lebih besar terjadi bila ibu juga memiliki HbeAg. (Zhang, 2004; Matondang, 1984) Antigen ini berhubungan dengan adanya defek respon imun terhadap HBV, sehingga memungkinkan tetap terjadi replikasi virus dalam sel-sel hepar. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya infeksi intra uterin lebih besar.
Banyak peneliti yang berpegang pada mekanisme infeksi HBV intra uterin yang merupakan infeksi transplasenta. Pada tahun 1987, Lin mendeteksi adanya 32 plasenta dari ibu dengan HBsAg dan HbcAg positif dengan menggunakan PAP imunohistokimia, dan tidak menemukan adanya HBsAg. Dari hasil penelitian diadapatkan bahwa HBV DNA didistribusikan tertama melalui sel desidua maternal, namun tidak ditemukan adanya sel pada villi yang mengandung HBV DNA. Hasil penelitian dengan PCR menunjukkan adanya tingkat sel-sel yang positif mengandung HBsAg dan HbcAg proporsinya secara bertahap menurun dari plasenta sisi maternal ke sisi fetus (sel desidua > sel trofoblas > sel vilus mesenkim > sel endotel kapiler vilus). HBV dapat menginfeksi seluruh tipe sel pada plasenta sehingga sangat menunjang terjadinya infeksi intra uterin, dimana HBV menginfeksi sel-sel dari desidua maternal hingga ke endotel kapiler vilus. (Roshan, 2005; Lu, 2004)
HBV juga menginfeksi sel trofoblas secara langsung, kemudian ke sel mesenkim vilus dan sel endotel kapiler vilus sehingga menyebabkan terjadinya infeksi pada janin. HBV terlebih dahulu menginfeksi janin, kemudian menginfeksi berbagai lapisan sel pada plasenta. HBsAg dan HbcAg ditemukan di sel epidermis amnion, cairan amnion, dan sekret vagina yang menunjukkan bahwa juga memungkinkan untuk terjadinya infeksi ascending dari vagina. HBV dari cairan vagina menginfeksi membran fetal terlebih dahulu, kemudian menginfeksi sel-sel dari berbagai lapisan plasenta mulai dari sisi janin ke sisi ibu. (Lu, 2004)
Sejak tahun 1980, ditemukan HBV DNA pada seluruh stadium sel spermatogenik dan sperma dari pria yang terinfeksi HBV. Pada pria-pria tersebut, terjadi sequencing pada anak-anaknya sebanyak 98-100%. HBV DNA terutama berada pada plasma ovum dan sel interstitial. Oosit merupakan salah satu bagian yang dapat terinfeksi pula oleh HBV, sehingga transmisi HBV melalui oosit dapat terjadi. Sebagai kesimpulan, infeksi HBV dapat terjadi melalui plasenta dari darah ibu ke janin, selain itu dapat pula terjadi infeksi HBV melalui vagina dan oosit. (Lu, 2004)
Pada saat kelahiran, sistem imun manusia secara umum belum aktif. Transmisi transplasental dari imunoglobulin maternal terjadi terutama pada trimester ketiga dan secara kuantitatif berhubungan dengan usia gestasi. Status imunologis ibu dan antibodi merupakan komponen kritis untuk kualitas dan spesifisitas dari antibodi yang ditransfer. ASI memperpanjang masa transfer pasif IgG dan IgA. Sebagai imunitas pasif, sekalipun antibodi yang ada melindungi terhadap organisme patogen, namun tidak berperan dalam sistem imun yang memiliki daya memori dan konsekuensinya adalah meningkatnya produksi antibodi yang high avidity, dimana keduanya menunjukkan kemampuan bayi untuk berespon terhadap imunisasi. (Domain, 2006)
Secara minimal, antigen dalam rahim (in utero) menunjukkan hasil pada repertoire B- dan T-cell pada bayi yang masih polos. Paparan terhadap limfosit yang polos ini meningkat dengan cepat karena banyaknya paparan terhadap antigen yang dimulai sejak kelahiran. Dalam beberapa jam setelah kelahiran, beberapa bayi sudah mendapatkan nutrisi enteral dan spesies bakteri membentuk koloni dalam traktus gastrointestinalis. Kemampuan sel B dan sel T repertoire untuk meng-kloning sendiri, juga untuk membentuk diferensiasi khusus penting artinya dalam membentuk respon imunologis aktif. Respon aktif ini merupakan penanda penting dalam menentukan suksesnya imunisasi. Imaturitas dari respon aktif ini menentukan efikasi dan keamanan dari setiap imunisasi terhadap bayi. (Domain, 2006)
II. 3 Diagnosis
Tes serologis antigen komersil tersedia untuk mendeteksi HBsAg dan HBeAg, dimana Hepatitis B surface antigen akan terdeteksi selama masa infeksi akut. Jika infeksi yang terjadi bersifat self-limited, maka HBsAg telah hilang sebelum serum anti-HBs terdeteksi (menandakan window period dari infeksi).
Jika seorang wanita yang akan melahirkan memiliki riwayat Hepatitis B akut tepat sebelum atau saat kehamilannya, maka wanita tersebut akan di tes segera saat melahirkan, jika tes dilakukan 6 bulan atau lebih dari sejak wanita tersebut sakit, maka tes dibutuhkan untuk menentukan status HBsAg yang terakhir (imun atau karier), terutama jika tes sebelumnya belum lengkap. Wanita hamil dengan status HBsAg negatif, namun dicurigai memiliki riwayat kontak Hepatitis B, maka status HBsAg wanita tersebut harus diperiksa segera setelah melahirkan. (Freij, 1999)
Radioimmunoassay dapat digunakan untuk memeriksa anti-HBs, HBsAg, dan anti-HBc. Jika kadar anti-HBs lebih besar dari 100mIU/mL, maka orang tersebut dinyatakan imun. Konsentrasi antara 10-100 mIU/mL dinyatakan memiliki titer rendah. Seseorang dinyatakan sebagai karier jika status HBsAg nya tetap positif dalam 6 bulan. (Snyder, 2000)
AxSYM adalah penanda mikropartikel dari enzim yang digunakan untuk mendeteksi secara kualitatif kadar HBsAg pada serum neonatus, dewasa, dan anak-anak. Marker ini digunakan sebagai perangkat diagnosis infeksi akut maupun kronis virus Hepatitis B yang berhubungan dengan hasil laboratorium dan gejala klinis lainnya. Marker ini juga dapat digunakan pada wanita hamil. (Waknine, 2006)
ARCHITECT AUSAB Reagen Kit adalah marker penanda mikropartikel chemiluminescent yang digunakan untuk menentukan kadar anti HBs secara kuantitatif pada plasma dan serum orang dewasa, neonatus, dan anak-anak. Perangkat ini digunakan untuk pengukuran kuantitatif reaksi antibodi setelah vaksinasi Hepatitis B, menentukan status imun terhadap HBV, dan menegakkan diagnosis penyakit Hepatitis B jika digunakan bersama hasil laboratorium dan gejala klinis lainnya. (Waknine, 2006)
Diagnosis serologis
- Adanya HBsAg dalam serum tanpa adanya gejala klinik menunjukkan bahwa penderita adalah pembawa HBsAg, yang merupakan sumber yang penting untuk penularan.
- Adanya HbeAg dalam serum memberi petunjuk adanya daya penularan yang besar. Bila ia menetap lebih dari 10 minggu, merupakan petunjuk terjadinya proses menahun atau menjadi pembawa virus.
- Adanya anti Hbc IgM dapat kita pakai sebagai parameter diagnostik adanya HBV yang akut, jadi merupakan stadium infeksi yang masih akut.
- Adanya anti HBc IgG dapat dipakai sebagai petunjuk adanya proses penyembuhan atau pernah mengalami infeksi dengan HBV.
- Adanya anti HBsAg menunjukkan adanya penyembuhan dan resiko penularan menjadi berkurang dan akan memberi perlindungan pada infeksi baru.
- Adanya anti HbeAg pertanda prognosis baik.
(Matondang, 1984)
Skrining untuk HBsAg maternal pada ibu karier merupakan salah satu pemeriksaan rutin antenatal. Walaupun tidak ada bukti bahwa infeksi HBV kronis memiliki efek samping terhadap kehamilan, namun ditemukan bahwa infeksi HBV kronis berhubungan dengan beberapa peningkatan kejadian pada fetal distress, kelahiran prematur, dan peritonitis akibat aspirasi mekonium. Patofisiologi pada fenomena ini belum jelas, namun faktor perbedaan etnik dan aktifitas penyakit pada ibu karier HBsAg juga berperan. (Zhang, 2004)
Kriteria ibu mengidap Hepatitis B kronis:
- Bila ibu mengidap HBsAg positif untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan dan tetap positif selama masa kehamilan dan melahirkan.
- Bila status HBsAg positif disertai dengan peningkatan SGOT/SGPT, ,maka status ibu adalah pengidap Hepatitis B.
- Bila diseertai dengan peningkatan SGOT/SGPT pada lebih dari lebih dari 3 kali pemeriksaan dengan interval pemeriksaan antara 2-3 bulan, maka status ibu adalah penderita Hepatitis B kronis.
- Status HBsAg positif tersebut dapat disertai dengan atau tanpa HbeAg positif. (Matondang, 1984)
II. 4 Penatalaksanaan bayi dengan ibu HbsAg positif
Pada umumnya bayi dengan ibu HBsAg + memiliki nilai Apgar 1 menit dan 5 menit yang lebih rendah dibandingkan bayi normal. Hal ini dimungkinkan karena adanya kecenderungan bahwa bayi dengan ibu HBsAg+ lahir prematur sebelum 34 minggu.
Status Maternal | Bayi dgn berat >= 2000 gram | Bayi dengan berat <> |
HbsAg (+) positif | Vaksin Hepatitis B dan HBIG dalam 12 jam setelah kelahiran | Vaksin Hepatitis B dan HBIG dalam 12 jam setelah kelahiran |
| Vaksinasi sebanyak 3 kali, yaitu pada usia 0, 2, dan 6 bulan | Vaksinasi sebanyak 4 kali, yaitu pada usia 0, 1, 2-3 bulan, dan 6-7 bulan |
| Periksa kadar anti HBs dan HBsAg pada usia 9 dan 15 bulan | Periksa kadar anti HBs dan HBsAg pada usia 9 dan 15 bulan |
| Jika HBsAg dan anti HBs pada bayi negatif (-), berikan vaksinasi ulang 3 kali dengan interval 2 bulan, kemudian kembali periksa. | Jika HBsAg dan anti HBs pada bayi negatif (-), berikan vaksinasi ulang 3 kali dengan interval 2 bulan, kemudian kembali periksa |
Jika kadar HBsAg tidak diketahui | Vaksin Hepatitis B (dalam 12 hari) dan HBIG (dalam 7 hari) jika hasil tes menunjukkan ibu HBsAg +. | Vaksin Hepatitis B dan HBIG dalam 12 jam. |
| Segera periksa kadar HBsAg ibu | Jika hasil tes HbsAg ibu belum diketahui dalam 12 jam, berikan bayi vaksin HBIG. |
HBsAg negatif (-) | Sebaiknya tetap lakukan vaksinasi Hepatitis B segera setelah lahir | Vaksinasi Hepatitis B pertama dalam 30 hari setelah kelahiran jika keadaan klinis baik. |
| Vaksinasi 3 kali pada usia 0-2 bulan, 1-4 bulan, dan 6-18 bulan. | Vaksinasi 3 kali pada usia 1-2 bulan, 2-4 bulan, dan 5-18 bulan. |
| Vaksinasi kombinasi Hepatitis B lainnya dapat diberikan dalam waktu 6-8 minggu. | Vaksinasi kombinasi Hepatitis B lainnya dapat diberikan dalam waktu 6-8 minggu |
| Tidak diperlukan tes ulang terhadap kadar anti HBs dan HbsAg | Tidak diperlukan tes ulang terhadap kadar anti HBs dan HbsAg |
(Jill, 2005)
Apabila status HBsAg ibu tidak diketahui, maka bayi preterm dan BBLR harus divaksin Hepatitis B dalam 12 jam pertama setelah kelahirannya. (Jill, 2005; Snyder, 2000; Duarte, 1997) Karena reaksi antibodi bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2000 gram masih kurang bila dibandingkan dengan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 2000 gram, maka bayi-bayi kecil tersebut juga harus mendapat vaksin HBIG dalam 12 jam pertama setelah kelahirannya. Bayi-bayi dengan berat badan lahir 2000 gram atau lebih dapat menerima vaksin HBIG secepatnya setelah status HBsAg positif ibu diketahui, namun sebaiknya vaksin diberikan sebelum tujuh hari setelah kelahiran bayi tersebut. (Jill, 2005; Pujiarto, 2000)
Apabila diketahui bahwa ibu dengan HBsAg positif, maka seluruh bayi preterm, tidak tergantung berapapun berat badan lahirnya, harus menerima vaksin Hepatitis dan HBIG dalam 12 jam setelah kelahirannya. Bayi dengan berat badan lahir 2000 gram atau lebih dapat menerima vaksin Hepatitis B sesuai dengan jadwal, namun tetap harus diperiksakan kadar antibodi anti-HBs dan kadar HBsAg nya dalam jangka waktu 3 bulan setelah melengkapi vaksinasinya. Jika kedua tes tersebut memberikan hasil negatif, maka bayi tersebut dapat diberikan tambahan 3 dosis vaksin Hepatitis B (ulangan) dengan interval 2 bulan dan tetap memeriksakan kadar antibodi anti-HBs dan HBsAg nya. Jika kedua tes tersebut tetap memberikan hasil negatif, maka anak tersebut dikategorikan tidak terinfeksi Hepatitis B, namun tetap dipertimbangkan sebagai anak yang tidak berespon terhadap vaksinasi. Tidak dianjurkan pemberian vaksin tambahan. (Jill, 2005; Matondang, 1984)
Bayi dengan berat badan kurang dari 2000 gram dan lahir dari ibu dengan HBsAg positif mendapatkan vaksinasi Hepatitis B dalam 12 jam pertama setelah kelahiran, dan 3 dosis tambahan vaksin Hepatitis B harus diberikan sejak bayi berusia 1 bulan. Vaksin kombinasi yang mengandung komponen Hepatitis B belum diuji keefektifannya jika diberikan pada bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif. Semua bayi dengan ibu HBsAg positif harus diperiksan kadar antibodi terhadap antigen Hepatitis B permukaan (anti-HBS, atau Hepatitis B surface antigen) dan HBsAg pada usia 9 bulan dan 15 bulan, sesudah melengkapi serial imunisasi HBV. Beberapa pendapat mengatakan bahwa tes serologis terhadap antigen dan antibodi tersebut dapat dilakukan 1-3 bulan setelah selesai melaksanakan serial imunisasi Hepatitis B. (Snyder, 2000)
Banyak alasan yang mendukung pemberian vaksin Hepatitis tersebut. Bayi-bayi preterm yang dirawat di rumah sakit seringkali terpapar oleh berbagai produk darah melalui prosedur-prosedur bedah yang secara teoritis tentu saja meningkatkan predisposisi terkena infeksi. Pemberian vaksin lebih awal juga akan memperbaiki jika status maternal HBsAg positif dan juga menghindarkan terpaparnya bayi dari anggota keluarga lainnya yang juga HBsAg positif. Hal ini juga menyingkirkan kemungkinan adanya demam yang disebabkan oleh pemberian vaksin lainnya.
Usia kehamilan kurang bulan dan kurangnya berat badan lahir bukan merupakan pertimbangan untuk menunda vaksinasi Hepatitis B. Beberapa ahli menganjurkan untuk tetap melakukan tes serologis 1-3 bulan setelah melengkapi jadwal imunisasi dasar.
II. 5 Imunoprofilaksis untuk Hepatitis B
Imunisasi sesuai jadwal pada anak-anak dengan suspek kontak positif adalah cara preventif utama untuk mencegah transmisi. Untuk mengurangi dan menghilangkan terjadinya transmisi Hepatitis B sedini mungkin, maka dibutuhkan imunisasi yang sifatnya universal. Secara teoritis, vaksinasi Hepatitis B dianjurkan pada semua anak sebagai bagian dari salah satu jadwal imunisasi rutin, dan semua anak yang belum divaksinasi sebelumnya, sebaiknya divaksin sebelum berumur 11 atau 12 tahun.
Imunoprofilaksis dengan vaksin Hepatitis B dan Imunoglobulin Hepatitis B segera setelah terjadinya kontak dapat mencegah terjadinya infeksi setelah terjadi kontak dengan virus Hepatitis B. Sangat penting dilakukan tes serologis pada semua wanita hamil untuk mengidentifikasi apakah bayi yang dikandung membutuhkan profilaksis awal, tepat setelah kelahirannya untuk mencegah infeksi Hepatitis B yang terjadi melalui transmisi perinatal. (Pujiarto, 2000)
Bayi yang menjadi karier HBV kronis karena imunoprofilaksis yang tidak sempurna, kemungkinan besar terinfeksi saat berada dalam kandungan, atau ibu bayi tersebut memiliki jumlah virus yang sangat banyak atau terinfeksi oleh virus yang telah bermutasi dan lolos dari vaksinasi. Apabila infeksi telah terjadi transplasenta, vaksin HBIg dan HBV tidak dapat mencegah infeksi. (Roshan, 2005)
BAB III
KESIMPULAN
- Faktor resiko terbesar terjadinya infeksi HBV pada bayi dan anak-anak adalah melalui transfer perinatal dari ibu dengan status HBsAg positif.
- Transmisi virus dari ibu ke bayi dapat terjadi pada masa intra uterine, pada masa perinatal, dan pada masa postnatal.
- Imunisasi sesuai jadwal pada orang-orang dengan suspek kontak positif adalah cara preventif utama untuk mencegah transmisi.
- Bayi preterm maupun aterm yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, maka tidak tergantung berapapun berat badan lahirnya, harus menerima vaksin Hepatitis dan HBIG dalam 12 jam setelah kelahirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Baley JL, Leonard EG, 2005, The Immunologic Basis for Neonatal Immunizations, http://neoreviews.aappublications.org/cgi/content/full/6/10/e463#SEC2 , 29 Juli 2006
Coleman PF, 2006, Detecting Hepatitis B Surface Antigen Mutants, http://www.medscape.com/viewarticle/522896_4 , 29 Juli 2006
Domain T, 2005, Health Tips (Jaundice), http://www.doctorsofbangladesh.com/healthtips(jaundice).htm , 29 Juli 2006
Duarte G, et.al., 1997, Frequency of pregnant women with HBsAg in a Brazilian community, http://www.scielosp.org/scielo.php/lng_en , 29 Juli 2006
Freij BJ, Sever JL. 1999, Hepatitis B. In: Avery GB, Fletcher MA, MacDonald MG, eds. Neonatology, Pathophysiology and Management of the Newborn. 5th ed.
Hidayat B, 2001, Hepatitis B. In:Ranuh IGN et.al., Buku Imunisasi di Indonesia, 1st ed. IDAI:
Kusumobroto H., 2003, Pandangan Terkini Hepatitis Virus B dan C dalam Praktek Klinik, http://www.pgh.or.id/RSH03_dl.html , 29 Juli 2006
Lu CY, et.al., 2004, Waning immunity to plasma-derived hepatitis B vaccine and the need for boosters 15 years after neonatal vaccination, http://www.natap.org/2004/HBV/121304_04.htm#top , 29 Juli 2006
Matondang CS, Akib AAP, 1984, Hepatitis B, eds. Ikterus Pada Neonatus, FKUI, h73-9
Onakewhor JUE, Offor E, 2002, Seroprevalence of maternal and neonatal antibodies to human immunodeficiency and hepatitis B viruses in Benin City, Nigeria, http://www.ajol.info/admin/user/order.php?jid=61&id=2301 , 29 Juli 2006
Pujiarto PS, et.al., 2000, Bayi Terlahir dari Ibu Pengidap Hepatitis B, eds. Sari Pediatri, Vol.2. no.1, IDAI, h.48-9
Roshan, Mohammad-Reza Hassanjani MD., 2005, Efficacy of HBIG and Vaccine in Infants of HbsAg Positive Carrier Mothers, http://www.ams.ac.ir/AIM/0251/contents0251.htm , 29 Juli 2006
Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In: Kliegman RM, Jenson HB, 2000, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed.
Waknine Y, 2006, FDA Approvals: AxSYM HBsAg, INTACS, Palmaz Blue, http://www.medscape.com/resource/hbv , 29 Juli 2006
Zhang SL, et.al., 2004, Mechanism of intrauterine infection of hepatitis B virus, http://www.wjgnet.com/1007-9327/9/108.asp , 29 Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar