Senin, 19 Juli 2010

Glomerulonefritis Akut Pascastreptokokus

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
2008


Pendahuluan

Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Istilah akut (glomerulonefritis akut, GNA) mencerminkan adanya korelasi kliniko-patologis selain menunjukan adanya gambaran tentang etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis1,2

Telah lama diketahui bahwa beberapa orang anak setelah menderita scarlet fever, dapat mengalami edema dan hematuria nyata, penyakit ini dikenal sebagai glomerulonefritis pascastreptokok. Sejak adanya kemajuan di bidang antibioktik dan kesehatan masyarakat yang makin baik, angka kejadian penyakit ini menurun drastis di Amerika Serikat. Tetapi di negara-negara berkembang, glomerulonefritis pascactreptokok masih tetap merupakan penyakit yang banyak menyerang anak. Untungnya penyakit ini merupakan penyakit yang bersifat self-limiting pada sebagian besar anak dengan kesembuhan yang sempurna, meskipun pada sebagaian kecil dapat mengakibatkan gagal ginjal akut1

Penyakit ini adalah contoh klasik dari sindrom nefritis akut. Mulainya mendadak dari hematuria makroskopis, edema, hipertensi dan insuffisiensi ginjal. Dulu, penyakit ini merupakan penyebab tersering hematuria makroskopis pada anak, tetapi frekuensinya menurun selama beberapa dekade terakhir dimana nefropati-IgA sekarang merupakan penyebab hematuria makroskopis yang paling lazim. Sindrom ini ditandai dengan timbulnya edema yang timbul mendadak, hipertensi, hematuri, oliguri, GFR menurun, insuffisiensi ginjal3

Epidemiologi

Di Indonesia tahun 1980, Glomerulonefritis menempati urutan pertama sebagai penyebab penyakit ginjal tahap akhir dan meliputi 55% penderita yang mengalami hemodialisis4

Insidens tidak dapat diketahui dengan tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi dari data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang tidak menunjukkan gejala sehingga tidak terdeteksi. Kaplan memperkirakan separuh pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok pada suatu epidemi tidak terdeteksi1,2

Glomerulonefritis akut pascastreptokok terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah dan jarang menyerang anak di bawah usia 3 tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Hasil penelitian multicentre di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan terdapat 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%) dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak pada usia antara 6-8 tahun (40,6%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada musim dingin dan puncaknya pada musim semi1

Etiologi

Glomerulonefritis pascastreptokok didahului oleh infeksi Streptococcus β- hemolyticus grup A jarang oleh streptokokus dari tipe yang lain. Hanya sedikit Streptococcus β-hemolyticus grup A bersifat nefritogenik yang mampu mengakibatkan timbulnya glomerulonefritis pascastreptokokus. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran napas adalah dari tipe M1, 2, 4, 12, 18, 25 dan yang menyerang kulit adalah tipe M49, 55, 57, 601,2

Glomerulonefritis akut pascastreptokokus menyertai infeksi tenggorokan atau kulit oleh strain “nefritogenik” dari streptococcus β-hemolyticus grup A tertentu. Faktor-faktor yang memungkinkan bahwa hanya strain streptokokus tertentu saja yang menjadi “nefritogenik” tetap belum jelas. Selama cuaca dingin glomerulonefritis streptokokus biasanya menyertai tonsilofaringitis streptokokus, sedangkan selama cuaca panas glomerulonefritis biasanya menyertai infeksi kulit atau pioderma streptokokus. Epidemi nefritis telah diuraikan bersama dengan infeksi tenggorokan (serotipe 12) maupun infeksi kulit (serotipe 49), tetapi penyakit ini sekarang paling lazim terjadi secara sporadik1,2

Penyakit infeksi lain yang juga dapat berhubungan ialah skarlatina, otitis media, mastoiditis, abses peritonsiler dan bahkan infeksi kulit. Jasad reniknya hampir selalu streptokok beta hemolitik golongan A, dan paling sering ialah tipe 12. Strain nefritogenik lain yang dapat ditemukan pula ialah tipe 4, 47, 1, 6, 25 dan Red Lake (49)1,2,5

Periode antara infeksi saluran nafas atau kulit dengan gambaran klinis dari kerusakan glomerulus dinamakan periode laten. Periode laten ini biasanya antara 1-2 minggu, merupakan ciri khusus dari penyakit ini sehingga dapat dibedakan dengan sindrom nefritik akut karena sebab lainnya. Periode laten dari infeksi kulit (impetigo) biasanya antara 8-21 hari5

Patologi

Makroskopik

Ginjal pada glomerulonefritis akut membesar secara simetris hingga meregang, mudah terkelupas, berpermukaan licin, dan berwarna merah tengguli disertai bercak-bercak perdarahan fokal. Gambaran korteks tampak sembab dan melebar, korteks dan medula berbatas jelas1,2,4

Glomerulus dapat terlihat sebagai titik-titik putih kelabu, kadang-kadang terdapat daerah-daerah merah fokal. Piramida-piramida dan pelvis kongestif atau normal1,2,6

Mikroskopik

Dari pemeriksaan secara mikroskopis, hampir semua glomerulus yang terkena memperlihatkan gambaran pembesaran dan hiperselularitas, sehingga dinamakan sebagai glomerulonephritis acuta proliferativa. Belum ada kesepakatan mengenai jenis sel yang berproliferasi, kemungkinan ialah endotelial, mesangial atau sebukan sel monokleus. Sebukan leukosit polimorfonukleus mungkin ada. Akibat proliferasi sel, lumen kapiler-kaliper tersumbat, dan glomelurus seolah-olah menjadi avaskuler. Kadang-kadang dapat pula ditemukan trombus dalam kapiler-kaliper. Sekali-kali tampak nekrosis fibrinoid dinding kapiler. Dalam ruang Bowman kadang-kadang dapat ditemukan banyak eritrosit. Selain eritrosit, ruang Bowman berisi endapan protein dan leukosit. Proliferasi sel epitel mungkin juga ada, tetapi hanya ringan, kadang-kadang dengan pembentukkan bulan sabit (crescent) dan mungkin terjadi perlekatan antara gelung glomerulus dan simpai Bowman. Membrana basalis kapiler dapat menunjukkan penebalan fokal1,2,4

Tubulus menunjukkan vakuolisasi lipoid dan pembentukkan “hyaline-droplet” dalam sel epitel dan dilatasi tubulus proximalis. Dalam tubulus dapat ditemukan berbagai torak (cast). Pada bentuk nekrotik dan hemoragik ditemukan torak eritrosit yang berdegenerasi dalam tubulus distalis2,4

Interstisium bersebukan leukosit polimorfonukleus atau sel mononukleus dan menunjukkan edema setempat. Pembuluh darah arteri dan arteriol tidak menunjukkan kelainan jelas4,6

Patogenesis

Glomerulonefritis pascastreptokok dapat terjadi setelah radang tenggorok dan jarang dilaporkan bersamaan dengan demam reumatik akut. Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokus, gejala klinis, dan pemeriksaan imunofluoresensi ginjal, jelaslah kiranya bahwa glomerulonefritis pascastreptokokus adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan proses imunologis. Meskipun secara umum patogenesis glomerulonefritis telah dimengerti, namun mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya lesi glomerulus, terjadinya proteinuria dan hematuria pada glomerulonefritis pascastreptokokus belumlah jelas benar. Pembentukan kompleks-imun bersirkulasi dan pembentukan kompleks-imun in situ, telah ditetapkan sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokok. Hipotesis lain yang sering disebut-sebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus yang mengubah IgG endogen sehingga menjadi “autoantigenik”. Akibatnya terbentuklah autoantibody terhadap IgG yang telah berubah tersebut, yang mengakibatkan pembentukan kompleks imun bersirkulasi, yang kemudian mengendap dalam ginjal2,7

Adanya periode laten antara infeksi streptokok dengan gambaran klinis dari kerusakan glomerulus menunjukan bahwa proses imunologis memegang peranan penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Glomerulonefritis akut pasca streptokok merupakan salah satu contoh dari penyakit kompleks-imun1,2,4

Pada penyakit kompleks-imun, antibodi tubuh (host) akan bereaksi dengan circulating antigen dan komplemen yang beredar dalam darah untuk membentuk circulating immunne complexes. Pembentukkan circulating immunne complexes ini memerlukan antigen dan antibodi dengan perbandingan 20 : 1. Jadi antigen harus lebih banyak atau antibodi lebih sedikit. Antigen yang bersirkulasi dalam darah bersifat heterolog baik eksogen maupun endogen. Kompleks-imun yang beredar dalam darah dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat akan menempel/melekat pada kapiler-kapiler glomeruli dan terjadi proses kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi. Untuk sistematisnya dapat dilihat pada skema berikut ini:





ambar 1. Patogenesa mekanisme kompleks-imun Glomerulonefritis Akut Pascastreptokok (dikutip dari Behrman, dkk)2

Patofisiologi

Patofisiologi pada gejala-gejala klinik berikut:

1. Kelainan urinalisis: proteinuria dan hematuria

Kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi lebih permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit, maka terjadi proteinuria dan hematuria2

2. Edema

Mekanisme retensi natrium dan edema pada glomerulonefritis tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme edema pada sindrom nefrotik.

Penurunan faal ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus (LGF) tidak diketahui sebabnya, mungkin akibat kelainan histopatologis (pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel mesangium, oklusi kapiler-kaliper) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini menyebabkan penurunan ekskresi natrium Na+ (natriuresis), akhirnya terjadi retensi natrium Na+. Keadaan retensi natrium Na+ ini diperberat oleh pemasukan garam natrium dari diet. Retensi natrium Na+ disertai air menyebabkan dilusi plasma, kenaikan volume plasma, ekspansi volume cairan ekstraseluler, dan akhirnya terjadi edema1,2,7

3. Hipertensi

a. Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis)

Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam genesis hipertensi ringan dan sedang.

b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi berat. Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menurunkan konsentrasi renin, atau tindakan nefrektomi.

c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin. Penurunan konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi2

4. Bendungan Sirkulasi

Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom nefritik akut, walaupun mekanismenya masih belum jelas.

Beberapa hipotesis yang berhubungan telah dikemukakan dalam kepustakaan-kepustakaan antara lain:

a. Vaskulitis umum

Gangguan pembuluh darah dicurigai merupakan salah satu tanda kelainan patologis dari glomerulonefritis akut. Kelainan-kelainan pembuluh darah ini menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisial dan menjadi edema.

b. Penyakit jantung hipertensif

Bendungan sirkulasi paru akut diduga berhubungan dengan hipertensi yang dapat terjadi pada glomerulonefritis akut.

c. Miokarditis

Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan perubahan-perubahan elektrokardiogram: gelombang T terbalik pada semua lead baik standar maupun precardial. Perubahan-perubahan gelombang T yang tidak spesifik ini mungkin berhubungan dengan miokarditis.

d. Retensi cairan dan hipervolemi tanpa gagal jantung

Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut, kenaikan cardiac output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua perubahan patofisiologi ini akibat retensi natrium dan air1,2,4

Gejala Klinis

Gejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat bervariasi, dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul gejala-gejala berat dengan bendungan paru akut, gagal ginjal akut, atau ensefalopati hipertensi7

Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal dengan sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat merupakan gambaran klinis dari glomerulonefritis akut pada orang dewasa atau anak yang besar. Sebaliknya pada pasien anak-anak, ensefalopati akut hipertensif sering merupakan gambaran klinis pertama.

1. Infeksi Streptokok

Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi kulit (impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa prevalensi glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi infeksi saluran nafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif rendah, sekitar 5-10%.

2. Gejala-gejala umum

Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan dan ciri khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.

3. Keluhan saluran kemih

Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi saluran kemih bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria atau anuria merupakan tanda prognosis buruk pada pasien dewasa.

4. Hipertensi

Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.

5. Edema dan bendungan paru akut

Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap atau persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan efusi rongga pleura1,2,7

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi:

· Gagal ginjal akut

· Kongesti sirkulasi dan hipertensi

· Hiperkalemia

· Hiperfosfatemia

· Hipokalsemia

· Asidosis

· Kejang-kejang

· Uremia

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis (synpharyngetic hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah faringitis, sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-IgA1,2,4

Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus dan glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit2,7

Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria, kelainan sedimen urin dengan eritrosit dismorfik, leukosituria serta torak seluler, granular dan eritrosit. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tanpak adanya proteinuria masif dengan gejala sindrom nefrotik. Komplemen hemolitik total serum (total hemolytic complement) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan adanya aktivasi jalur alternatif komplemen. Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg/dl). Penurunan C3 tidak berhubungan dengan parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai harga normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosis, karena pada glomerulonefritis yang lain (glomerulonefritis membrans proliferatif, nefritis lupus) yang juga menunjukkan penurunan kadar C3, ternyata berlangsung lebih lama1,2

Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih). Sindrom nefrotik dan proteinuria masif lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama2

Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis, tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi1,2

Konfirmasi diagnosis memerlukan bukti yang jelas akan adanya infeksi streptokokus. Dengan demikian, biakan tenggorokan positif dapat mendukung diagnosis atau mungkin hanya menggambarkan status pengidap. Untuk mendokumentasi infeksi streptokokus secara tepat, harus dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi terhadap antigen streptokokus. Meskipun biasanya paling banyak diperoleh, penentuan titer Anti Sterptolisin Titer O (ASTO) mungkin tidak membantu karena titer ini jarang meningkat pascainfeksi streptokokus kulit. Titer antibodi tunggal yang paling baik diukur adalah titer terhadap antigen DN-ase B. Pilihan lain adalah uji Streptozime (Wampole Laboratoris, Stamford, Ct), suatu prosedur aglutination slide yang mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O, DN-ase B, hialuronidase, streptokinase, dan NAD-ase1

Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberikan antimikroba. Bebarapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi streptokokus, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti DN-ase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolisin O meningkat pada 75-80 % pasien dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O. Sebaiknya serum di uji terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90 % kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus glomerulonefritis akut pascastreptokok atau pascaimpetigo, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali lipat berarti adanya infeksi. Tetapi, meskipun terdapat bukti adanya infeksi streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa glomerulonefritis tersebut benar-benar disebabkan karena infeksi streptokokus tersebut. Gejala klinis dan perjalanan penyakit pasien penting untuk menentukan apakah biopsi ginjal memang diperlukan2,4

Krioglobulin juga ditemukan dalam glomerulonefritis akut pascastreptokok dan mengandung IgG, IgM dan C3. Kompleks-imun bersirkulasi juga ditemukan pada glomerulonefritis akut pascastreptokok. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien1

Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa

  • Istirahat pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi berat, kejang, payah jantung
  • Diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil katabolisme endogen dan diet rendah garam

Medikamentosa

· Penisilin prokain 50.000 U/kgbb/kali i.m. 2x/hr

· Penisilin V 50 mg/kgbb/hr p.o. 3 dosis

· Eritromisin 50 mg/kgbb/hr p.o. 4 dosis

· Bila disertai hipertensi

Ø Ringan (130/80 mmHg) : tidak diberi anti hipertensi

Ø Sedang (140/100 mmHg) : Hidralazin i.m. / p.o. atau Nefidipin sublingual

Ø Berat (180/120 mmHg) : Klonidin drip / Nefidipin sublingual

· Bila ada tanda hipervolemia (edema paru, gagal jantung) disertai oligouria beri diuretik kuat (furosemid 1-2 mg/kgbb/kali)7

Prognosis

Penyembuhan sempurna terjadi pada lebih dari 95 % anak dengan glomerulonefritis pascasteptokokus akut. Tidak ada bukti bahwa terjadi penjelekan menjadi glomerulonefritis kronis. Namun, jarang fase akut dapat menjadi sangat berat, menimbulkan hialinisasi glomerulus dan insuffisiensi ginja kronis. Mortalitas pada fase akut dapat dihindari dengan manajemen yang tepat pada gagal ginjal atau gagal jantung akut. Kekambuhan sangat jarang terjadi1,2,7

Pencegahan

Terapi antibiotik sistemik pada awal infeksi streptokokus tenggorokan dan kulit tidak akan menghilangkan risiko glomerulonefritis. Anggota keluarga penderita dengan glomerulonefritis akut harus mendapat pemeriksaan laboratorium untuk streptococcus β-hemolyiticus grup A dan diobati jika biakan positif1,7

Kesimpulan

Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu, yang bersifat akut spesifik dan sembuh sendiri. Timbul akibat susulan dari infeksi faring atau kulit oleh strain nefritogenik streptococcus hemolitikus grup A tipe 12, 4, 16, 25 dan 49.

Sindrom ini ditandai dengan timbulnya edema yang timbul mendadak, hipertensi, hematuri, oliguri, LFG menurun, insuffisiensi ginjal.

Prognosa GNA pasca streptokokus pada anak 95% sembuh dengan sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Husein, A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. h 345-353
  2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia; 2004. h 1813-1814
  3. Prico SA. dan Wilson LM. Patologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC; 1995. h 827-829.
  4. Sutisna Himawan. Patologi. Jakarta. FK UI; 1998 h 258-261.
Herry, G dan Heda, M. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ketiga. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD RSHS; 2005 h 536-538.

SILAHKAN DINIKMATI, BUKAN BUATAN SENDIRI, HANYA ARSIP DARI SEORANG TEMAN

1 komentar: