Kamis, 05 Agustus 2010

Gizi Komunitas

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
2008

BAB I

PENDAHULUAN

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualtias, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak bangsa.

Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan visi pembangunan nasional melalui pembangungan kesehatan yang ingin dicapai untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi keluarga yang optimal.

Masalah gizi penduduk merupakan masalah yang tersembunyi, akan tetapi masalah gizi ini berdampak pada tingginya angka kesakitan dan kematian. Saat ini diperkirakan ada 2 bayi yang meninggal setiap menit, 1 bayi disebabkan karena kurang gizi dan bayi lainnya disebabkan karena infeksi. Masalah gizi juga berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia. Diperkirakan hanya 3-4% dari total penduduk di Indonesia berpendidikan D3 ke atas, atau hanya sekitar 1% berpendidikan S1 ke atas. Bahkan 4–5% penduduk tidak pernah mendapat pendidikan formal (13% penduduk 15 tahun keatas buta huruf). Kondisi ini mengakibatkan Indonesia jauh tertinggal dari negara tetangga, daya ungkit untuk lebih maju menjadi sulit, selain itu pendidikan rendah berdampak pada pendapatan rendah.

Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % ( 1989 ) menjadi 24,6 % ( 2000 ). Berita munculnya kembali kasus gizi buruk yang diawali di Propinsi NTT, NTB, Lampung yang diikuti oleh propinsi-propinsi lainnya menunjukkan bahwa masalah gizi masyarakat kita masih rawan. Secara nasional, pada tahun 2003 terdapat sekitar 27.5% balita menderita gizi kurang, namun demikian terdapat 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi kurang (termasuk gizi buruk) diatas 30%, yang menurut WHO dikelompokkan sangat tinggi. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena mengancam kualitas sumberdaya manusia kita dimasa mendatang.

Mulai tahun 1998 upaya penanggulangan balita gizi buruk mulai ditingkatkan dengan penjaringan kasus, rujukan dan perawatan gratis di Puskesmas maupun Rumah Sakit, Pemberian Makanan Tambahan ( PMT ) serta upaya-upaya lain yang bersifat Rescue. Bantuan pangan ( beras Gakin dll ) juga diberikan kepada keluarga miskin oleh sektor lain untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman kelaparan. Namun semua upaya tersebut nampaknya belum juga dapat mengatasi masalah dan meningkatkan kembali status gizi masyarakat, khususnya pada balita. Balita gizi buruk dan gizi kurang yang mendapat bantuan dapat disembuhkan, tetapi kasus-kasus baru muncul yang terkadang malah lebih banyak sehingga terkesan penanggulangan yang dilakukan tidak banyak artinya, sebab angka balita gizi buruk belum dapat ditekan secara bermakna.

Salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 Bidang Kesehatan adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20%, termasuk prevalensi gizi buruk menjadi setinggi-tingginya 5% pada tahun 2009.

Upaya untuk mencegah semakin memburuknya keadaan gizi masyarakat di masa datang perlu dilakukan dengan segera dan direncanakan sesuai masalah daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi. Keadaan ini diharapkan dapat semakin mempercepat sasaran nasional dan global dalam menetapkan program yang sistematis mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan.

Peningkatan SDM untuk masa yang akan datang perlu dilakukan dengan memperbaiki atau memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, bermanfaat untuk kelompok sasaran terutama penduduk rawan dan miskin. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi pada penduduk menjadi prioritas, selain meningkatkan pendidikan dan mengurangi kemiskinan, terutama pada kabupaten/kota yang tingkat keparahannya sangat berat. Pelayanan kesehatan dan gizi untuk yang akan datang juga harus memperhatikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang akan membawa berbagai masalah lain. Dengan peningkatan kualitas intervensi kepada masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat tercapai

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengenalan Ilmu Gizi

Ilmu gizi (Nutrition Science) adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Kata ”gizi” berasal dari bahasa Arab Ghidza, yang berarti ”makanan”. Di satu sisi ilmu gizi berkaitan dengan makanan dan di sisi lain dengan tubuh manusia.

Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk menyediakan energi, membangun, dan memelihara jaringan tubuh, serta mengatur proses kehidupan dalam tubuh. Tetapi, sekarang kata gizi mempunyai pengertian lebih luas; disamping untuk kesehatan, gizi dikaitkan dengan potensi ekonomi seseorang, karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar, dan produktivitas kerja. Oleh karena itu, di Indonesia yang sekarang sedang membangun, faktor gizi disamping faktor-faktor lain dianggap penting untuk memacu pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia berkualitas.

2.2. Masalah Gizi

Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

Masalah gizi, meskipun sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan pengadaan pangan. Pada kasus tertentu, seperti dalam keadaan krisis (bencana kekeringan, perang, kekacauan sosial, krisis ekonomi), masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya. Menyadari hal itu, peningkatan status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin setiap anggota masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup jumlah dan mutunya. Dalam konteks itu masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah kesehatan tetapi juga masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah kesempatan kerja.

Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia Defisiensi Fe, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993, telah terungkap bahwa Indonesia mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh, sudah muncul masalah baru, yaitu berupa gizi lebih.

Disamping masalah tersebut diatas, diduga ada masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi Zinc yang sampai saat ini belum terungkap, karena adanya keterbatasan Iptek Gizi. Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama KEP dan anemia defisiensi Fe masih lebih tinggi daripada negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1998, prevalensi KEP pada balita di Indonesia adalah 39,8 % dan berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, prevalensi anemia pada usia balita 0-5 tahun sekitar 47% dan prevalensi anemia pada anak usia sekolah dan remaja sekitar 26,5%.

United Nations (Januari, 2000)[1] memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus kehidupan. Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya perbaikan gizi. Pada bagan 1 ini diperlihatkan juga faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang, dan lain-lain yang pada akhirnya berdampak pada kematian.

Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi, bagan 2 (Unicef, 1998[2]) menunjukkan secara sistimatis determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat. Sehingga upaya perbaikan gizi akan lebih efektif dengan selalu mengkaji faktor penyebab tersebut.

Gambar 2.1 Bagan Gizi menurut daur kehidupan


Gambar 2.2 Bagan Penyebab kurang gizi


Dapat terlihat pada bagan 2. mengenai penyebab kurang gizi, Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Timbulnya gizi-kurang tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan gizi buruk. Anak yang menderita gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga anak rentan terhadap penyakit infeksi. Disisi lain anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk. Cakupan pelayanan kesehatan dasar terutama imunisasi, penanganan diare, tindakan cepat pada balita yang tidak naik berat badan, pendidikan, penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di Posyandu, penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan akan menentukan tingginya kejadian penyakit infeksi. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi. Dalam kenyataan keduanya (makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

Kedua, penyebab tidak langsung yaitu: ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Demikian juga sebaliknya.

Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu ibu (ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di setiap keluarga yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga tersebut sehingga tidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga dapat memberikan ASI kepada bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam jumlah yang tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan dan atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan demikian, dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan keluarga ini rawan karena karena tidak mampu menyediakan makanan yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi menderita kurang gizi.

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan ketrampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak.

Pelayanan kesehatan, adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti iimunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskemas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit, dan persediaan air bersih. Ketidak terjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak..

Berbagai faktor langsung dan tidak langsung diatas, berkaitan dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain berupa ketidak berdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidak tahuan pengasuhan anak yang baik, serta ketidak mampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Meningkatnya jumlah anak yang bergizi buruk sampai 1,7 juta anak di Indonesia, dan prevalensi gizi buruk di daerah pengungsian di NTT sebanyak 24 persen pada tahun 1998/1999 sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga miskin akibat krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, seperti digambarkan pada bagan yang diuraikan diatas.

2.3. Kajian Status Gizi dan Kesehatan Penduduk

Dari indikator kesehatan, walaupun terjadi peningkatan status kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi dan balita, akan tetapi masih tercatat sekitar 24% kabupaten/kota dengan angka kematian bayi >50 per 1000 lahir hidup. Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit sirkulasi dan pernafasan. Masih rendahnya status kesehatan ini antara lain disebabkan karena faktor lingkungan atau tercemarnya lingkungan air dan udara. Disamping itu, faktor perilaku juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti jantung, kanker, dan lain-lain. Tingginya angka kematian ini juga dampak dari kekurangan gizi pada penduduk. Mulai dari bayi dilahirkan, masalahnya sudah mulai muncul, yaitu dengan banyaknya bayi lahir dengan berat badan rencah (BBLR<2.5>

Uraian berikut ini merupakan kajian status gizi dan kesehatan penduduk yang menunjukkan fakta yang terjadi pada masyarakat Indonesia disertai dengan faktor penyebabnya. Prevalensi status gizi dan kesehatan diterjemahkan ke jumlah penduduk, dan angka prevalensi tahun terakhir digunakan untuk proyeksi sampai tahun 2015.

2.3.1. Status Kesehatan penduduk

Status kesehatan dinilai berdasarkan usia harapan hidup, angka kematian bayi dan angka kematian balita. Figure 3 menunjukkan kecenderungan ketiga indikator tersebut, yang menunjukkan terjadinya peningkatan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi dan balita.

Gambar 2.3 Grafik Kecenderungan Usia Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan

Angka kematian balita (AKABA) – Indonesia 1980-2002


Sumber: WDR 1987, UNICEF 2000, IHDR 2001, BPS 2000, SDKI 2002/2003

Gambar 2.4 Grafik Persen kabupaten berdasarkan perubahan AKB 1999 dan 2002


Peningkatan status kesehatan Indonesia secara keseluruhan terlihat meningkat dengan semakin menurunnya AKB maupun AKABA dari tahun ke tahun dan adanya peningkatan UHH sekalipun peningkatannya tidak menyolok. Sedangkan peningkatan status kesehatan ini tidak merata di seluruh wilayah Indonesia yang terlihat pada Grafik 2 dimana pada tahun 2002, ada 65% kabupaten di Indonesia dengan AKB antara 25-50 per 1000 LH, bahkan 24% kabupaten dengan AKB >50%.

Indikator kesehatan lain yaitu angka kematian ibu (AKI) yang tidak mengalami perubahan yang berarti. Kecenderungan AKI per 100.000 kelahiran hidup diperkirakan dari SKRT yaitu: 618 (1986); 325 (1995); dan 377 (2001); atau dari SDKI yaitu: 380 (1994); dan 318 (1997)[3].

2.3.2. Status gizi penduduk

Berikut ini merupakan kajian status gizi penduduk menurut kelompok umur sampai dengan 2003 berkaitan dengan masalah gizi makro (khususnya Kurang Energi dan Protein) dan gizi mikro (khususnya Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi, dan Gangguan Akibat Kurang Yodium).

2.3.2.1. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR <2500>

Secara umum, Indonesia masih belum mempunyai angka untuk BBLR yang diperoleh berdasarkan survei nasional. Proporsi BBLR diketahui berdasarkan estimasi yang sifatnya sangat kasar diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).

Seperti yang terlihat pada Tabel 1, proporsi BBLR berkisar antara 7 – 16% selama periode 1986-1999[4], demikian juga dari studi terserak yang menunjukkan angka BBLR antara 10-16%. Jika proporsi ibu hamil yang akan melahirkan bayi adalah 2,5% dari total penduduk, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 dari 5 juta bayi lahir dengan kondisi BBLR. Kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang sebelum dan selama kehamilan. Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tinggi rendahnya angka kematian bayi.

Tabel 1. Proporsi BBLR SDKI

1986-1991

1989-1994

1992-1997

SDKI

7,3

7,1

7,7

Perkotaan

6,8

6,6

Perdesaan

7,3

8,4

Rentang Provinsi

2,3-16,7

3,6-15,6

2.3.2.2. Status gizi pada balita

Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Gizi kurang pada balita ini dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan. Menurut Susenas, pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37,5% menurun menjadi 27,5% tahun 2003 atau penurunan gizi kurang sebesar 10%.

Tabel 2 menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang dengan memperhatikan jumlah penduduk[5] dan proporsi balita[6] pada tahun pengamatan yang sama. Dapat dilihat terjadi penurunan gizi kurang yang cukup berarti dari tahun 1989 : 7.986.279 menjadi 4.415.158 pada tahun 2000. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali sesudah tahun 2000, dan pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi 5.117.409. Sedangkan untuk kasus gizi buruk di Indonesia pada 2006 menurun bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bila pada tahun 2005 petugas kesehatan menemukan dan menangani 76.176 kasus, maka pada 2006 turun menjadi 19.567. Jumlah anak yang meninggal akibat gizi buruk pun mengalami penurunan dari 293 menjadi 193.

Tabel 2. Jumlah balita gizi buruk (BB/U<-3SD) dan gizi kurang (BB/U <-2SD)

Susenas 1989-2003

Tahun

Total Penduduk

Total Balita

Prevalensi

Jumlah balita dengan

Gizi buruk

Gizi Kurang

Buruk+Kurang

Gizi Buruk

Gizi Kurang

Buruk+Kurang

1989

177,614,965

21,313,796

6.3

31.2

37.5

1,342,769

6,643,510

7,986,279

1992

185,323,458

22,238,815

7.2

28.3

35.6

1,607,866

6,302,480

7,910,346

1995

195,860,899

21,544,699

11.6

20.0

31.6

2,490,567

4,313,249

6,803,816

1998

206,398,340

20,639,834

10.5

19.0

29.5

2,169,247

3,921,568

6,090,815

1999

209,910,821

19,941,528

8.1

18.3

26.4

1,617,258

3,639,329

5,256,587

2000

203,456,005

17,904,128

7.5

17.1

24.7

1,348,181

3,066,977

4,415,158

2001

206,070,543

18,134,208

6.3

19.8

26.1

1,142,455

3,590,573

4,733,028

2002

208,749,460

18,369,952

8.0

19.3

27.3

1,469,596

3,545,401

5,014,997

2003

211,463,203

18,608,762

8.3

19.2

27.5

1,544.527

3,572,882

5,117,409

Jumlah penderita gizi buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun 1989 ke tahun 1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Diperkirakan gambaran prevalensi gizi buruk ini ‘kurang akurat’ dan cenderung ‘over-estimate’. Prevalensi gizi buruk pada balita ini perlu di konfirmasi dengan hasil survei lainnya. SKRT pada tahun 2001 melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari Susenas pada tahun yang sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan melaporkan prevalensi gizi buruk yang juga fluktuatif dari tahun 1998 sampai dengan 2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah sampai 9.1% di Lombok. Sementara pada daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi gizi buruk berkisar dari 4.3% di Jakarta sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002.

Gambar 2.5


Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa studi/survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif/peka dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2SD) sesudah tahun 2002 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting di atas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita.

Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD), tabel 3menunjukkan prevalensi anak balita stunting tahun 2002 dari beberapa survei. Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek.

Tabel 3. Prevalensi Pendek/Stunting anak balita <-2SD

Survei

Stunting <-2SD

Suvita, 92 (15 prov)

41.4

IBT, 91 (4 prov)

44.5

SKIA, 95 (Nas)

45.9

JPS, 98-99 (5 Prov)

43.8

NSS-HKI, 2002 – Pedesaan

- Sumatera Barat

37.2

- Lampung

30.4

- Banten

37.4

- Jawa Barat

35.4

- Jawa Tengah

29.0

- Jawa Timur

31.2

- Lombok (NTB)

48.8

- Sulawesi Selatan

37.6

NSS-HKI, 2001 – Kumuh perkotaan

- Jakarta

28.8

- Semarang

28.2

- Surabaya

27.9

- Makassar

42.6

JPS: Jaring Pengaman Sosial

NSS-HKI: Survei gizi dan Kesehatan HKI

2.3.2.3. Status gizi pada anak baru masuk sekolah (TBABS 1994, 1999)

Akibat dari tingginya BBLR dan gizi kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik dibanding anak di desa. Grafik 3 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun 1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak yang dikategorikan sangat pendek.

Gambar 2.6 Grafik Distribusi Z-score Tinggi Badan menurut umur anak usia 6-9 tahun dibanding rujukan di Kota dan Desa tahun (TBABS, 1994 dan 1999).

Kota

Desa

2.3.2.4. Status gizi pada Usia Produktif

Masalah gizi kurang berlanjut pada kelompok umur berikutnya. Data yang tersedia hanya untuk WUS usia 15-49 tahun. Dua cara dilakukan untuk mengetahui status gizi pada WUS yaitu dengan mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan indeks massa tubuh (IMT). Status gizi kurang berdasarkan LILA <>25.

Analisis secara nasional (1999 – 2003) menggambarkan bahwa proporsi LILA <23,5>(Lihat Grafik 4). Prevalensi LILA <23.5>35% pada WUS usia 15-19 tahun.

Gambar 2.7 Grafik Proporsi WUS risiko KEK (Lila <23.5>

Masalah gizi pada usia produktif sebenarnya tidak saja karena kurus (IMT<18.5)>25) bahkan obesitas (IMT>27 atau IMT >30). Pada survei di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini sudah terlihat dengan jelas. (Grfik 5).

Gambar 2.8 Grafik Masalah gizi kurang dan gizi lebih usia dewasa di perkotaan, 1996/1997


Dua masalah gizi (“double burden”) ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu kota provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah mulai terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan.


2.3.2.5. Masalah gizi mikro

Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat besi. Menurut World Summit for Children (WSC) goal, diharapkan pada tahun 2000 seluruh negara sudah tidak lagi mempunyai masalah gizi mikro, yang ditandai dengan sudah universalnya konsumsi garam beryodium, seluruh anak dan ibu nifas telah mendapat kapsul vitamin A, tidak dijumpai lagi kasus xeropthalmia, menurunnya prevalensi anemia gizi besi pada wanita usia subur sebesar sepertiga dari kondisi tahun 1990.

a. Defisiensi Vitamin A

Untuk masalah kurang vitamin A, Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia pada tahun 1992. Walapun bebas dari xerophthalmia, survei nasional vitamin A tahun 1992 masih menjumpai 50% dari balita mempunyai serum retinol <20 st="on">Indonesia tetap bebas dari xeropthalmia. Ada kemungkinan penyuluhan kurang berhasil, maka cakupan kapsul kurang vitamin A yang <80%[7] akan membuka kemungkinan munculnya kasus xeropthalmia. Hal ini terbukti dengan laporan NTB pada tahun 2000 lalu yang masih menemukan kasus xeropthalmia. Ada kemungkinan provinsi lain yang belum berhasil mencakup >80% kapsul vitamin A terdistribusi pada balita akan menemukan kembali kasus xeropthalmia.

b. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY)

Besaran masalah kurang yodium di Indonesia dipantau berdasarkan survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998 dan 2003. Terjadi penurunan yang cukup berarti, dimana pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%. Prevalensi ini menurun menjadi 27.9% pada tahun 1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun 1996/1998. Survei tahun 2003 prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11.1%, walaupun dilaporkan pada daerah endemik berat, prevalensi GAKY turun cukup berarti.

Garam beryodium sampai dengan tahun 2003, dikonsumsi oleh 73.2% rumah tangga secara adekuat/cukup. Angka ini cukup bervariasi antar wilayah kabupaten, mulai dari <40%>90% rumah tangga menkonsumsi garam beryodium. .

Intervensi pada wilayah endemik berat dan sedang adalah dengan mendistribusikan kapsul yodium, khususnya pada ibu hamil, wanita usia subur, dan anak usia sekolah. Pemantauan pemberian kapsul ini masih kurang baik. Survei evaluasi 2003, menemukan hanya 30% cakupan kapsul yodium ini sampai pada sasaran, sementara pada laporan program, cakupan ini berkisar antara 60-75%.

Masalah GAKY masih cukup serius di Indonesia. Untuk mencapai universal konsumsi garam beryodium pada tahun 2005 memerlukan strategi yang komprehensif. Dari hasil analisis survei 1996/1998 dan survey evaluasi 2003 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kabupaten yang dulunya tidak endemik, atau endemik ringan, menjadi daerah endemik sedang atau berat. Walaupun ada penurunan prevalensi GAKY pada daerah endemik berat dan sedang, surveilans GAKY ini sangat diperlukan, sehingga daerah yang berisiko untuk menjadi endemik dapat selalu terpantau. (Lihat tabel 5)

Tabel 4. Total Goitre Rate (TGR) pada 268 kabupaten yang sama dari

Survei 1996/1998 dan 2003


Sumber: National IDD survey 1998, and National IDD evaluation survey 2003

c. Defisiensi Fe

Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Dua survei nasional (Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT) tahun 1995 dan 2001 hanya dapat menunjukkan kecenderungan prevalensi anemia pada balita, perempuan usia 15-44 tahun dan ibu hamil (Grafik 6). Prevalensi anemi pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001); pada wanita usia subur 15-44 tahun dari 39.5% (1995) menjadi 27.9% (2001). Sementara survei di DKI Jakarta 2004 menunjukkan angka prevalensi anemia pada balita sebesar 26,5% dan pada ibu hamil 43,5%.

Gambar 2.9 Grafik Prevalensi Anemia menurut SKRT 1995 dan 2001


Informasi lain adalah dari hasil survei NSS- HKI tahun 1999 dan 2000 pada beberapa provinsi di Indonesia yang melakukan analisis prevalensi anemia pada WUS dan balita (tabel 6). Pada balita prevalensi anemia masih cukup tinggi dan berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%.

Tabel 5. Prevalensi anemia pada WUS dan balita (NSS-HKI)

Tahun 1999 dan 2000

Lokasi

Wanita Usia Subur

Anak balita

1999

2000

1999

2000

Sumbar

29.2

34.0

46.9

53.9

Lombok

32.3

25.3

65.8

66.1

Lampung

24.1

56.8

Makassar

27.9

37.1

58.6

63.5

Sulsel

27.8

53.6

Surabaya

34.0

27.1

65.5

58.8

Jatim

28.7

26.5

62.6

68.1

Jabar

28.9

26.5

64.6

57.9

Semarang

21.9

27.5

44.7

51.0

Jateng

23.4

25.8

54.7

51.8

Jakarta

42.5

33.3

71.9

63.5

Indonesia masih belum secara komprehensif menanggulangi masalah anemia gizi ini. Pemetaan secara nasional untuk masalah anemia menurut provinsi maupun kabupaten masih belum dilaksanakan. Hasil pemetaan yang dilakukan provinsi Jawa Barat tahun 1997, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 62,2%, dan pemetaan yang dilakukan di Jawa Tengah tahun 1999 menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 58,1%. Intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya masih sulit dipantau.

2.4 Faktor Yang Berpengaruh Pada Status Gizi dan Kesehatan

Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi penduduk, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI.

2.4.1 Ketahanan pangan tingkat rumah tangga

Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah secara nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang dimakan untuk setiap individu. Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun 1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara 45 – 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 – 35% (Latief, et.al, 2000).

Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa, analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa.

Walaupun ada perbaikan pola pengeluaran makanan tingkat rumah tangga pada tahun 2003, akan tetapi jika dilihat dari rasio pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total, masih sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum cukup baik. Pengeluaran terbesar rumah tangga masih pada makanan. Pada Figure 16 berikut, mengklasikasikan kabupaten berdasarkan 4 tingkat % pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total: 1) <55%;>75%. Terlihat ada perbaikan dari tahun 2000 ke tahun 2003, akan tetapi kondisinya hampir sama dengan tahun 1995. Pada tahun 2003, terlihat sekali perbedaan antara Kota dan Desa.

Gambar 2.10 Grafik Perubahan persen Kabupaten/Kota berdasarkan % pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran tingkat rumah tangga (1995, 2000, 2003)

Perbedaan tahun 1995, 2000, dan 2003

erbedaan Kota – Desa, 2003



Untuk diketahui juga, selain ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, maka keamanan pangan yang dikonsumsi setiap individu juga sangat berperan untuk kesehatan dan gizi. Terutama pada rumah tangga di perkotaan dimana konsumsi makanan jadi yang semakin meningkat.

2.4.2 Morbiditas

Informasi prevalensi menurut jenis penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah gizi, tidak diketahui secara lengkap. Pada Grafik 8 dapat dilihat kecenderungan pola penyakit yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit infeksi masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan pernafasan. Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergis sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar daripada sendiri-sendiri.

Penyebab kematian yang ditunjukkan dengan penyakit sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit degeneratif baik pada laki-laki maupun perempuan. Terlihat juga kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan neoplasma cenderung meningkat dari tahun 1995-2001.

Gambar 2.11 Grafik Kecenderungan penyebab kematian di Indonesia menurut jenis kelamin,

SKRT 1995 dan 2001


Sumber: Laporan Studi Mortalitas, Litbangkes 2002

2.4.3 Kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat

Kebiasaan makan dinilai berdasarkan perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi makanan sehari-hari. Dalam kor Susenas 2003, Penilaian dilakukan dari berapa kali konsumsi sayur, buah, makanan sumber hewani, dan nabati dalam seminggu terakhir. Seperti pada Figure 18 berikut tidak terlihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki dan perempuan, keduanya rata-rata mengkonsumsi 3-9 kali keempat jenis makanan dalam seminggu terakhir. Laki-laki maupun perempuan mengkonsumsi sayuran pada umumnya lebih sering dibanding konsumsi buah. Jika membedakan antara Kota dan Desa, konsumsi sayuran lebih sering dikonsumsi di Desa dibanding Kota, sedangkan jenis makanan lain hampir sama antara Kota dan Desa.

Gambar 2.12 Grafik Perilaku mengkonsumsi makanan antara penduduk Kota-Desa, 2003.

Kota

Desa



2.4.4 Pola Asuh

Analisis pola asuh yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi ini dapat dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI terutama pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1% pada tahun 2003. Provinsi terendah memberikan ASI adalah Aceh (23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%)

Keunggulan ASI antara lain ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan menyediakan energi dalam susunan yang diperlukan, ASI tidak memberatkan fungsi pencernaan dan ginjal yang belum berfungsi baik pada bayi yang baru lahir, ASI memiliki berbagai zat anti infeksi yang melindungi bayi, proses menyusui sendiri menguntungkan ibu dengan adanya Lactational Infertility sehingga memperpanjang Child Spacing.

Jika dikaji berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan, terlihat ada kecenderungan meningkat dari tahun 1995 yaitu 35% menjadi 41% pada tahun 2003. Pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2003, yaitu sekitar 15-17%.

2.4.5 Pelayanan kesehatan dasar

Pelayanan gizi yang dilakukan melalui Posyandu, terutama untuk pemantauan pertumbuhan dan penyuluhan gizi pada Susenas tidak ada informasinya. Pengamatan berdasarkan laporan program aktivitas Posyandu ini cukup baik untuk balita terutama sampai usia 2 tahun dengan integrasi imunisasi. Partisipasi masyarakat sangat bervariasi, mulai dari terendah 10% sampai tertinggi 80%. Jika diamati pemantauan pertumbuhan yang dilakukan rutin setiap bulan, partisipasinya masih sangat rendah berkisar antara 1-5%.

2.4.6 Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat dan tentu saja gizi masyarakat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Data dari Susenas menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia telah menurun dari 57,1% di tahun 1961, menjadi 12,75% pada tahun 1994. Selanjutnya, telah terjadi peningkatan angka melek huruf pada kelompok umur diatas 10 tahun yakni dari 78,7% pada tahun 1990 menjadi 82,9%, dan pada tahun 2003 menjadi lebih baik yaitu 87,7%, dengan distribusi yang agak berbeda antara perkotaan (93,0%) dan perdesaan (83,8%).

Sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk tingkat nasional, terlihat ada peningkatan sedikit untuk anak SD, SLTP, dan SLTA dari tahun 1995 ke tahun 2002. Proporsi masuk sekolah tingkat SLTA terlihat masih cukup jauh untuk mencapai 50% terutama untuk perdesaan. (lihat tabel 7).

Tabel 6. Angka Partisipasi Murni (APM) pada SD, SLTP dan SLTA

berdasarkan Gender, Susenas 1995, 1998, dan 2002.

Tingkat

1995

1998

2002

Pendidikan

Laki-Laki

Perempuan

Laki-Laki

Perempuan

Laki-Laki

Perempuan

SD

-Perkotaan

92.99

92.29

92.97

92.50

92.76

92.34

-Perdesaan

90.76

91.34

91.92

92.02

92.58

93.05

Total

91.47

91.64

92.13

92.18

92.65

92.76

SLTP

-Perkotaan

66.65

66.42

69.33

70.14

71.38

72.34

-Perdesaan

42.56

42.92

48.87

50.49

53.29

55.01

Total

50.77

51.32

56.09

57.86

60.88

62.44

SLTA

-Perkotaan

52.18

48.00

56.84

54.30

54.15

51.35

-Perdesaan

21.76

19.93

24.29

24.21

25.63

25.15

Total

33.52

31.74

37.70

37.25

38.65

37.54

2.4.7 Kemiskinan

Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah menjadi “low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam ranking “middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran.

Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi 11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2% pada tahun 2002.

2.5 Analisis determinan masalah kesehatan dan gizi

Dari uraian di atas, diketahui ada peningkatan status gizi dan status kesehatan penduduk Indonesia dilihat secara nasional, provinsi, maupun tingkat kabupaten. Pada uraian sebelumnya dijelaskan juga kemungkinan faktor atau penyebab yang berpengaruh terhadap masalah gizi dan kesehatan dengan mengikuti kerangka pikir Unicef, mulai dari penyebab langsung, ketahanan pangan tingkat rumah tangga sampai akar masalahnya, yaitu tingkat pendidikan dan kemiskinan.

Selanjutnya untuk mempertajam analisis situasi kesehatan dan gizi ini, dilakukan kajian penyebab tersebut di atas, data Susenas 2003, dengan menggunakan: (AKB) untuk menilai perubahan status kesehatan, dan Prevalensi Status gizi pada balita untuk menilai perubahan status gizi.

Hasil analisis menyimpulkan bahwa perubahan AKB sangat siginifikan terjadi jika dilakukan upaya:

  1. Penurunan kemiskinan
  2. Peningkatan status gizi pada balita
  3. Peningkatan pendidikan sampai jenjang DI/DIII pada laki-laki
  4. Peningkatan pendidikan sampai minimal jenjang SLTP pada perempuan
  5. Menambah jumlah rumah tangga yang memiliki tempat buang air besar sendiri
  6. Memperkecil persentasi rumah dengan lantai tanah
  7. Mengurangi angka morbiditas
  8. Meningkatkan pertolongan persalinan dengan tenaga medis
  9. Mengurangi perkawinan muda
  10. Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok

Sedangkan perubahan status gizi sangat signifikan terjadi jika dilakukan upaya:

  1. Penurunan kemiskinan
  2. Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada laki-laki
  3. Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada perempuan
  4. Peningkatan pengeluran untuk konsumsi sumber energi
  5. Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi telur dan susu
  6. Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok
  7. Meningkatkan penggunaan KB pada perempuan
  8. Mengurangi angka morbiditas

Informasi yang tidak dapat dikaji dari Susenas adalah pengaruh pekerjaan terhadap status gizi. Data HKI berikut ini menunjukkan perbedaan status gizi (gizi kurang berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB < -2 SD) menurut jenis pekerjaan bapak dan ibu pada daerah kumuh perkotaan dan perdesaan didapatkan anak balita dari pegawai negeri prevalensi gizi kurang pada balita pada umumnya lebih rendah dibanding jenis pekerjaan yang lain.

2.6 Proyeksi status gizi penduduk sampai 2015

Dari uraian sebelumnya status kesehatan penduduk disebut tergantung dari keadaan gizi. Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai. Berikut ini hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di Indonesia dan dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for Children 2002, dan Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi tergantung dari banyak faktor.

Dari besaran masalah gizi 2003 dan penyebab yang multi faktor, maka dapat diprediksi proyeksi kecenderungan gizi yad seperti berikut:

2.6.1 Proyeksi prevalensi gizi kurang pada balita

Dari uraian sebelumnya, penurunan prevalensi gizi kurang pada balita (berat badan menurut umur) yang dikaji berdasarkan Susenas 1989 sampai dengan 2003 adalah sebesar 27% atau penurunan prevalensi sekitar 2% per tahun. Telah banyak intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan status gizi pada balita, antara lain pelayanan gizi melalui Posyandu. Dengan meningkatkan upaya pelayanan status gizi terutama berkaitan dengan peningkatan konseling gizi kepada masyarakat, diharapkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama dengan periode sebelumnya atau sebesar 30%. Pada hasil kajian Susenas 2003, prevalensi gizi kurang adalah 19,2% dan gizi buruk 8,3%. Dengan asumsi penurunan 30%, diperkirakan pada tahun 2015 prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi 5.7%

2.6.2 Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur

Kelompok wanita usia subur sampai dengan tahun 2003 belum menjadi prioritas program perbaikan gizi.Intervensi yang dilakukan untuk kelompok umur ini mungkin tidak terlalu kompleks dibanding intervensi pada balita atau ibu hamil. Akan tetapi intervensi yang dilakukan akan lebih banyak bermanfaat untuk membangun sumber daya manusia generasi mendatang. Dengan menggunakan asumsi penurunan yang terjadi dari tahun 1999 – 2003 untuk kelompok umur 15-19 tahun. Dengan posisi proporsi resiko KEK 35% pada tahun 2003, pada tahun 2015 asumsinya akan menjadi 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK pada kelompok WUS 15-19 tahun 2015 diharapkan dapat menekan terjadinya BBLR, menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita dan juga mempercepat kenaikan tinggi badan anak Indonesia.

2.6.3 Proyeksi masalah gizi mikro

Masalah gizi mikro yang sudah terungkap sampai dengan tahun 2003 adalah masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi. Masih banyak masalah gizi mikro lainnya yang belum terungkap akan tetapi berperan sangat penting terhadap status gizi penduduk, seperti masalah kurang kalsium, kurang asam folat, kurang vitamin B1, kurang zink.

Mayoritas intervensi yang telah dilakukan untuk mengurangi masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi atau pemberian kapsul vitamin A, kapsul yodium, maupun tablet besi. Strategi lain yang jauh lebih efektif seperti fortifikasi, penyuluhan untuk penganekaragaman makanan masih belum dilaksanakan.

Pada uraian sebelumnya diketahui masalah KVA pada balita diketahui hanya dari hasil survei 1992. Pada survei tersebut dinyatakan masalah xeroftalmia sebagai dampak dari KVA sudah dinyatakan bebas dari Indonesia, akan tetapi 50% balita masih menderita serum retinal <20 style="" lang="FR">Diharapkan dengan “multiple strategy” 50% KVA pada balita dapat ditekan menjadi 25% pada tahun 2015, atau penurunan 50%.

Tahun 2003 ini sudah dilakukan evaluasi penanggulangan GAKY untuk mengetahui prevalensi GAKY setelah informasi terakhir adalah 9,8% pada tahun 1996/1998. pada tahun 1996 diasumsikan prevalensi GAKY akan diturunkan sekurang-kurangnya 50% pada tahun 2003 setelah intensifikasi proyek penanggulangan GAKY (IP-GAKY) 1997-2003. Akan tetapi, penurunan ini secara nasional tidak terjadi, masih banyak masalah yang belum teratasi secara tuntas dalam penanggulangan ini, antara lain konsumsi garam beryodium tingkat rumah tangga masih belum universal (SUSENAS 2003 menunjukkan hanya 73% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium. Jika pemberian kapsul tidak tepat sasaran dan garam beyodium tidak bisa universal, prevalensi GAKY ada kemungkinan akan meningkat lagi. Diharapkan TGR pada tahun 2015 dapat ditekan menjadi kurang dari 5%.

Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu hamil. Seperti yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi anemia pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001). Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak saja untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja. Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%. Diproyeksikan angka ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan 2015, karena sampai dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih belum intensif.

Asumsi penurunan prevalensi masalah gizi ini perlu disempurnakan dengan memperhatikan angka kecenderungan kematian, pola penyakit, tingkat konsumsi, pendapatan dan pendidikan. Selain itu sampai dengan tahun 2003, masih banyak masalah gizi yang belum terungkap terutama berkaitan dengan masalah gizi mikro lainnya yang mempunyai peran penting dalam perbaikan gizi secara menyeluruh.

2.7 Pemikiran program perbaikan gizi dan kesehatan untuk yang akan datang

Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan serta bervariasinya faktor penyebab masalah ini antar wilayah, maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak terarah.

Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain:

  • Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif. Kajian strategi program yang efisien untuk masa yang datang mutlak diperlukan, mulai dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten.
  • Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga dilakukan secara professional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal.

· Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan keluarga dan menciptakan kerja sama yang baik dengan swasta.

· Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai masalah gizi dan kesehatan.

BAB III

KESIMPULAN

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualtias, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak bangsa.

Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 % ( 1989 ) menjadi 24,6 % ( 2000 ). Berita munculnya kembali kasus gizi buruk yang diawali di Propinsi NTT, NTB, Lampung yang diikuti oleh propinsi-propinsi lainnya menunjukkan bahwa masalah gizi masyarakat kita masih rawan. Secara nasional, pada tahun 2003 terdapat sekitar 27.5% balita menderita gizi kurang, namun demikian terdapat 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi kurang (termasuk gizi buruk) diatas 30%, yang menurut WHO dikelompokkan sangat tinggi. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena mengancam kualitas sumberdaya manusia kita dimasa mendatang.

Peningkatan SDM untuk masa yang akan datang perlu dilakukan dengan memperbaiki atau memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, bermanfaat untuk kelompok sasaran terutama penduduk rawan dan miskin. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi pada penduduk menjadi prioritas, selain meningkatkan pendidikan dan mengurangi kemiskinan, terutama pada kabupaten/kota yang tingkat keparahannya sangat berat. Pelayanan kesehatan dan gizi untuk yang akan datang juga harus memperhatikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang akan membawa berbagai masalah lain. Dengan peningkatan kualitas intervensi kepada masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat tercapai

Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

Masalah gizi, meskipun sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan pengadaan pangan. Pada kasus tertentu, seperti dalam keadaan krisis (bencana kekeringan, perang, kekacauan sosial, krisis ekonomi), masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya. Menyadari hal itu, peningkatan status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin setiap anggota masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup jumlah dan mutunya. Dalam konteks itu masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah kesehatan tetapi juga masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah kesempatan kerja. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak terarah.


BUKAN BUATAN SENDIRI, HANYA ARSIP DARI TEMAN SEJAWAT

1 komentar:

  1. Keren.. tapi maaf .. mengapa nggak dibuat menjadi beberpa postingan... :) Sngat berisi.. kontennya..

    BalasHapus