FAKULTAS KEDOKTERAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Pelvis
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel, penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat pembentukan manuver penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan adalah penting bagi semua dokter yang terlibat.
2.2 ANATOMI
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri.
Gambar 2.1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis. |
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.
Gambar 2.2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor yang terletak pada dinding dalam pelvis |
2.3 EVALUASI PASIEN
Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis.
Dibutuhkan sebuah rencana untuk penilaian dan pengobatan berkelanjutan pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Tim antar cabang ilmu, termasuk ahli bedah umum, ahli bedah ortopedi, wakil dari penyimpanan darah, seorang ahli intervensi radiologi, diperlengkap untuk menilai dan mengelola gambaran cedera sehubungan dengan fraktur pelvis. Prioritas harus diberikan pada evaluasi dan perawatan masalah jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Evaluasi dan manajemen syok hipovolemik adalah wajib sambil menstabilkan jalan nafas dan pernafasan.
Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult Respiratory Distress Syndrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan penyebab tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi perdarahan atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan. Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan dan beratnya kehilangan darah intratorakal. Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak terlalu jelas pada pasien yang tidak responsif. Namun, rongga intraabdomen harus dikecualikan sebagai kemungkinan sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik. Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan pemeriksaan sonografi abdominal terfokus untuk trauma atau focused abdominal sonography for trauma/FAST.
Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur pelvis, perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun demikian, fraktur pelvis harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi paling mencolok perdarahan yang signifikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, terutama sekali ketika usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan pasien. Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis sementara harus segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi sementara dapat terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang dibungkuskan dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit kokoh.
Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai pulsasi, tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS dari American College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan berat badan 70 kg (155 lb).
Tabel 2.1. Klasifikasi Perdarahan ATLS | ||||
Kelas | Rata-rata Kehilangan Darah (mL) | Volume Darah (%) | Tanda dan Gejala Umum | Kebutuhan Resusitasi |
I | <> | <> | Tidak ada perubahan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah | Tidak ada |
II | 750 – 1500 | 15 – 30 | Takikardi dan takipnoe; tekanan darah sistolik mungkin hanya menurun sedikit; sedikit pnoe; tekanan darah sistolik mungkin hanya menurun sedikit; pengurangan pengurangan output urin (20-30 mL/jam) | Biasanya larutan kristaloid tunggal, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah |
III | 1500 – 2000 | 30 – 40 | Takikardi dan takipnoe yang jelas, ekstremitas dingin dengan pengisian-kembali kapiler terlambat secara signifikan,menurunnya tekanan darah sistolik, menurunnya status mental, menurunnya output urin (5-15 mL/jam) | Seringnya membutuhkan transfusi darah |
IV | > 2000 | > 40 | Takikardia jelas, tekanan darah sistolik yang menurun secara signifikan, kulit dingin dan pucat, mental status yang menurun dengan hebat, output urin yang tak berarti | Perdarahan yang membahayakan-jiwa membutuhkan transfusi segera |
Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah <15%>output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien dengan perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai kehilangan 30-40% (1500-2000 ml) volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3 mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagai tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid. Akhirnya, perdarahan kelas 4 didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml) mewakili perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat, dan status mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali membutuhkan intervensi bedah segera.
Praktek menggenggam crista iliaca dalam mencari instabilitas teraba, kurang sensitivitas dan spesifitasnya dan jarang memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh dari radiografi pelvis anteroposterior tunggal. Disrupsi posterior mencolok pada pelvis biasanya jelas pada posisi pandangan ini ketika pelvis mengalami fraktur. Pandangan dalam dan luar terhadap pelvis, yang dapat memberikan informasi lebih tentang kemunculan dan lokasi cedera cincin posterior, harus diperoleh hanya setelah pasien mencapai stabilitas hemodinamik. CT sangat berharga untuk menjelaskan instabilitas cincin posterior. Protokol CT cepat untuk evaluasi trauma abdomen bisa meliputi potongan scan melewati sacrum dan persendian sacroiliaca. Informasi dari studi ini sering membantu manajemen awal langsung karena hal tersebut dapat membantu dalam menjelaskan besarnya cedera cincin posterior. Bagaimanapun, CT-scan berkepanjangan pada pasien hipotensif akut harus dihindari. Tambahan CT-scan potongan-tipis mungkin diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut fraktur pelvis atau acetabulum, namun hanya setelah pasien distabilkan.
Pencitraan CT pelvis dipertinggi-kontras, yang sering dilakukan pada pasien trauma yang stabil secara hemodinamik, adalah sebuah teknik non-invasif yang telah terbukti cukup akurat dalam menentukan munculnya atau hilangnya perdarahan pelvis yang berkelanjutan. Dalam sebuah studi yang membandingkan metodologi ini dengan temuan angiografi pelvis, CT mendeteksi perdarahan pada 16 dari 19 pasien yang mengalami cedera vaskuler atau ekstravasasi yang diperlihatkan oleh angiografi, untuk sensitivitas sebesar 84%. Hasil angiografi pelvis adalah negatif pada 11 pasien, dan tidak ada pasien yang memiliki bukti perdarahan pada CT-scan preangiografi. Dua lokasi ekstravasasi agen-kontras diidentifikasi oleh pencitraan CT pada dua pasien yang tidak menunjukkan perdarahan pada angiografi, dengan spesifitas 85% untuk deteksi perdarahan. Keakuratan CT secara keseluruhan untuk menentukan adanya atau hilangnya perdarahan pada studi ini adalah 90%.
2.4 SISTEM KLASIFIKASI DAN NILAI PROGNOSTIK
2.4.1 Klasifikasi Young dan Burgess
Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.
Gambar 2.3. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur. |
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah.
Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi agar tidak menjadi perdarahan yang berat.
2.4.2 Klasifikasi Tile dan Pennal
Tipe A : merupakan tipe yang stabil dibagi menjadi 2 tipe
A1 : Fraktur isolated tanpa fraktur cincin pelvis
A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa pergeseran
Gambar 2.4 Klasifikasi Tile dan Pennal Tipe A
Tipe B : Rotasi (tidak stabil) dan vertical (stabil)
B1 : open book
Stage 1: Symphisiolisis <>
Stage 2 : Symphisiolisis > 2,5 cm terapi dengan OREF
Stage 3 : Bilateral Lessio terapi dengan OREF
B2 : Kompresi lateral/ipsilateral
B3 : kompresi lateral/kontraleteral (bucker handle terapi dengan OREF)
Gambar 2.5 Klasifikasi Tile dan Pennal Tipe B
C : Rotasi dan Vertical ( tidak stabil )
C1: Unilateral
C2 : Bilateral
C3 : dengan fraktur asetabulum
Gambar 2.6 Klasifikasi Tile dan Pennal Tipe C
2.5 METODE PENATALAKSANAAN
2.5.1 Pertolongan Pertama
- ABC merupakan manajemen yang utama
- Koreksi hipovolemia : paling tidak 2 jalur IV ukuran besar terpasang
- Kirim darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, dan rapid matched blood.siapkan 4-6 unit darah
- Lakukan pemeriksaan Fisik :
1. Pembengkakan area suprapubik atau groin area.
2. ekimosis pada genitalia eksterna, paha bagian medial dan area flank.
3. darah dari urethra.
4. abrasi, kontusio dari tulang yang menonjol
5. step-off, instabilitas
6. krepitus pada palpasi bimanual iliac wing
catatan : (1) jangan mencoba untuk melakukan test goyang pelvis untuk menentukan stabilitas karena hal ini tidak reliable, tidak diperlukan dan dapat menyebabkan perdarahan tambahan. (2) laserasi perineum, groin atau buttock setelah trauma mengindikasikan adanya fraktur pelvic terbuka kecuali terbukti bukan. (3) pemeriksaan neurology harus dilakukan dimana injury pleksus sakralis dapat terjadi.
· Injury lain yang terkait :
1. inspeksi perineum untuk mencari luka terbuka
2. lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan posisi prostate, merasakan spikula tulang dan mencari adanya darah.
3. lakukan pemeriksaan vagina untuk mencari luka terbuka.
4. jika ada bukti injury uretra, misalnya darah pada meatus, memar pada skrotum atau prostate letak tinggi, hati-hati pada fraktur pelvic yang dapat tidak stabil.
· Jangan masukkan kateter. Konsulkan pada urologist untuk kemungkinan pemasangan kateter suprapubik.
· Lakukan X ray pelvic untuk mencari kerusakan dan asimetri dari simphisis pubis.
· Berikan analgesik yang adekuat.
· Mulai pemberian antibiotik pada kasus fraktur terbuka.
· Gunakan Sandbags untuk mensupport fraktur pelvic yang tidak stabil.
· Rujuk ke orthopaedics untuk mengurangi dan meng-imobilisasi fraktur dengan C-clamp external fixator.
· Jika kontrol perdarahan gagal, pertimbangkan angiografi dan embolisasi.
2.5.2 Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma kompartemen ekstremitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
2.5.3 Pengikat dan Sheet Pelvis
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera APC.
Gambar 2.7. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan |
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
2.5.4 Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.
2.5.5 Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%.>Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”, menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme.
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.
2.5.6 Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal – telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.
Gambar 2.8. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal Trauma Pelvis. A, dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang mengikuti balutan pelvis. |
2.5.7 Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.
2.6 Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa
Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.
Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini.
Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.
2.7 EVALUASI STATUS RESUSITASI
Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup (≥ 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan resusitasi yang tidak mencukupi.
2.8 ALGORITMA PENGOBATAN DAN ANGKA KETAHANAN HIDUP
Analisa retrospektif hasil akhir sebelum pembentukan algoritma pengobatan secara dramatis mengilustrasikan kesulitan buatan bahwa protokol-protokol tersebut dicari untuk dihindari. Pada satu seri, kematian 43 pasien, mewakili 60% kematian pada seri ini, dihubungkan secara keseluruhan atau sebagai bagian dari fraktur pelvis. Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-nya dipertimbangkan sebagai penyebab kematian utama, 24 pasien mengalami syok atau memiliki bukti klinis hipovolemia pada waktu masuk, dan 18 pasien kehilangan darah akibat fraktur pelvis mereka segera setelah masuk rumah sakit.
Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan fraktur pelvis secara hebat meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan hidup yang cepat. Bosch dkk melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar pada pusat trauma mengarah pada menurunnya mortalitas sehubungan dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dari 66,7% menjadi 18,7%. Biffl dkk melaporkan bahwa jalur klinis mereka, termasuk segera munculnya kehadiran ahli bedah ortopedi di departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis, dan penggunaan C-clamp agresif berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas secara signifikan, dari 31% mejadi 15% (P <>evidence-based terdiri atas ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen dalam 15 menit, angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif minimal dalam 24 jam. Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfusi PRC 24-jam dari 16 ± 2 U menjadi 11 ± 1 U (P <>
Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin untuk diikuti. Satu alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi sebagai penyebab syok dan banyaknya sumber perdarahan pada pasien dengan fraktur pelvis. Juga, pengobatan cenderung pada ketergantungan-kasus yang tinggi. Alasan lain adalah kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan berdasarkan kapabilitas institusi untuk dikembangkan. Meskipun prinsip mendasar protokol-protokol tersebut berguna, mungkin juga penting untuk memodifikasi algoritma-algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber daya dan staf ahli pada masing-masing institusi.
Pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi yang dibawa ke institusi kami dengan instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan kristaloid (gambar 6). Radiografi dada portable, bersama dengan gambaran radiografi pelvis dan tulang belakang cervical lateral, diperiksa untuk menyingkirkan sumber kehilangan darah yang berasal dari toraks. Saluran tekanan vena sentral dipasang, dan defisit basa diukur. Pemeriksaan sonografi abdomen terfokus untuk trauma (focused abdominal sonography for trauma/FAST) dilakukan. Jika hasilnya positif, pasien dibawa langsung ke ruang operasi untuk laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal pelvis dipasang, dan dilakukan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil menjalani angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lanjutan dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya tidak dilakukan, maka harus dilakukan. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.
Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat darurat. Jika pasien secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC unit kedua, pasien dibawa ke ruang operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan saat ini. Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan.
Gambar 2.9. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang muncul dengan instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells BAB III |
KESIMPULAN
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dengan instabilitas hemodinamik ada diantara cedera traumatik yang paling berat. Pengobatan dan penilaian terkoordinasi yang efisien penting untuk memastikan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup. Evaluasi hemodinamik dan pengenalan pola fraktur merupakan langkah pertama dalam manajemen. Pada kebanyakan pusat trauma, paradigma pengobatan terdiri atas embolisasi angiografi bersama dengan stabilisasi pelvis mekanik dini. Balutan pelvis emergensi juga bisa menjadi sebuah pengobatan yang efektif. Resusitasi agresif, termasuk penggunaan FFP dan trombosit, harus dipertimbangkan, sebagaimana harusnya penggunaan rFVIIa jika pasien yang mengalami perdarahan tidak mengalami perubahan terhadap semua metode lain.
Manajemen yang sukses pada perdarahan fraktur pelvis paling baik dikerjakan oleh sebuah pendekatan tim yang melibatkan profesional dari berbagai macam spesialisasi. Ahli bedah ortopedi yang berpengalaman dapat menyediakan pengenalan yang tepat terhadap pola fraktur, mencapai stabilisasi pelvis dengan segera, dan membantu dengan pembuatan keputusan yang tepat untuk memaksimalkan ketahanan hidup pasien.
1. http://www.bedahugm.net/fraktur-pelvis/
2. http://ads.masbuchin.com/search/fraktur+pelvis+ilmu+bedah
4. http://bedahurologi.wordpress.com/2008/06/26/rangkuman-catatan-atls/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar