BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
BAB I
PENDAHULUAN
Labioschisis atau biasa disebut bibir sumbing adalah cacat bawaan yang menjadi masalah tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial ekonomi yang lemah. Akibatnya operasi dilakukan terlambat dan malah dibiarkan sampai dewasa.(3)
Bibir sumbing dengan atau tanpa celah pada langit-langit, merupakan kelainan kongenital yang paling umum pada kepala dan leher di dunia. Penelitian epidemiologi untuk pencegahan terjadinya bibir sumbing masih sedikit namun teknik bedah untuk mengobatinya banyak dilakukan. (22)
Sumbing memiliki frekuensi yang berbeda-beda pada berbagai budaya dan ras serta negara. Diperkirakan 45% dari populasi adalah non-Kaukasia. (22) Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang.(6)
Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui diketahui secara pasti, hanya disebutkan terjadi satu kejadian setiap 1000 kelahiran.PKIRANRAKYAT Hidayat dan kawan-kawan di propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986 sampai Nopember 1987 melakukan operasi pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun dewasa di antara 3 juta penduduk. (12)
Etiologi bibir sumbing dan celah langit-langit adalah multifaktorial. Selain faktor genetik juga terdapat faktor non genetik atau lingkungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing dan celah langit-langit adalah usia ibu waktu melahirkan, perkawinan antara penderita bibir sumbing, defisiensi Zn waktu hamil dan defisiensi vitamin B6.(3),(22)
Bayi yang terlahir dengan labioschisis harus ditangani oleh klinisi dari multidisiplin dengan pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi efektif dari berbagai aspek multidisiplin tersebut. Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih ada masalah lain yang perlu dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan psikososial. Masalah-masalah ini sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya hasil fungsional yang baik dari rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh masalah-masalah tersebut. Dengan pendekatan multidisipliner, tatalaksana yang komprehensif dapat diberikan, dan sebaiknya kontinyu sejak bayi lahir sampai remaja. Diperlukan tenaga spesialis bidang kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan audiolog. (31)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan diketahui bahwa alasan terbanyak anak penderita labioschisis terlambat (berumur antara 5-15 tahun) untuk dioperasi adalah keadaan sosial ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang masih kurang.(3)
Penyelenggaraan upaya kesehatan gigi sebagai salah satu kegiatan pokok Puskesmas juga dilaksanakan sesuai dengan pola pelayanan Puskesmas tersebut. (8)
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut terutama ditujukan kepada golongan rawan terhadap gangguan kesehatan gigi dan mulut yaitu: ibu hamil/menyusui, anak pra sekolah dan anak sekolah dasar serta ditujukan pada keluarga dan masyarakat berpenghasilan rendah di pedesaan dan perkotaan. (8)
Dengan penyelenggaraan upaya kesehatan gigi di Puskesmas ini diharapkan tercapainya keadaan kesehatan gigi masyarakat yang layak (optimum). (8)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari:
Epi : atas, pada
Demos : rakyat
Logos : ilmu
Maka epidemiologi sebenarnya berarti: ”ilmu mengenai hal-hal yang terjadi pada rakyat”. Ruang lingkup epidemiologi yang semula mempelajari penyakit menular lambat laun diperluas, sehingga epidemiologi menjadi ”ilmu yang mempelajari factor-faktor yang menentukan frekuensi dan distribusi penyakit pada rakyat”. (11)
Definisi epidemiologi lainnya ialah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan dan kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit atau kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan, perilaku, waktu, tempat, orang dan sebagainya.(29)
Labioschisis atau cleft lip atau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana terdapatnya celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa takik kecil pada bahagian bibir yang berwarna samapai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung. Celah pada satu sisi disebut labioschisis unilateral, dan jika celah terdapat pada kedua sisi disebut labioschisis bilateral. (32)
Apabila coba kita campurkan kedua pengertian di atas maka epidemiologi bibir sumbing ialah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian dan factor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan, dan kematian akibat bibir sumbing dalam populasi manusia.
Pada epidemiologi terdapat sejumlah pertanyaan penting yang harus selalu diingat, yaitu sebagai berikut :
- What : Apakah sebenarnya yang terjadi (atau kejadian apa)?
- Where : Di mana kasus bibir sumbing terjadi atau berlangsung? Lokasinya dimana?
- When : Kapan penyakit bibir sumbing tersebut terjadi? Apakah insidental, sepanjang tahun, atau pada waktu-waktu tertentu?
- Who : Siapakah yang terkena kecelakaan tersebut? Bagaimana dengan umur dan jenis kelaminnya? Apakah ia pejalan kaki, pengemudi atau penumpang kendaraan?
- Why : Mengapa kasus vivir sumbing dapat terjadi ?
- How : Bagaimana cara menanggulangi penyakit bibir sumbing tersebut? Bagaimana cara pencegahannya ? Dan lain sebagainya.
2.2 Bibir dan Langit-langit Sumbing Dari Segi Klinis
2.2.1 Etiologi
Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan factor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan labioschisis. (33)
Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain: (18)
Ø Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam folat, vitamin C, dan Zn)
Ø Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
Ø Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
Ø Faktor genetik
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali. (18)
Pada hewan percobaan vitamin A dikenal sebagai "teratogen universal". Namun kemungkinan teratogenitas pada manusia yang mengkonsumsi suplemen vitamin A masih kontroversi.(35)
Vitamin B-6 memiliki peran vital dalam metabolisme asam amino. Defisiensi vitamin B-6 tunggal telah terbukti dapat menyebabkan langit-langit mulut sumbing dan kelainan defek lahior lainnya pada tikus percobaan. Dan Miller (1972) menunjukkan bahwa pemberian vitamin B-6 dapat mencegah terjadinya celah orofasial. (35)
Salah satu penyebab terjadinya celah orofasial ialah heterogenitas, sebanyak sekitar 20% menyertai sindrom yang disebabkan mutasi yang spesifik. Namun juga terjadinya celah orofasil juga berhubungan dengan asam folat dan multivitamin lainnya. Beberapa mungkin memiliki etiologi karena asam folat namun sebagian lagi tidak, sehingga menyulitkan untuk mencari efeknya.(35)
2.2.2 Klasifikasi
Labioschisis diklasifikasikan berdasarkan lengkap/ tidaknya celah yang terbentuk : (18), (34)
- Komplit
- Inkomplit
Dan berdasarkan lokasi/ jumlah kelainan : (32)
- Unilateral
- Bilateral
2.2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari kelainan labioschisis antara lain : (4), (28), (32)
- Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis. Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioschisis tidak sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga daapt membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/ asupan makanan tertentu.
Gambar 2.1 Klasifikasi Labioschisis. (32)
- Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean dari celah bibir yang terbentuk.
- Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
- Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung. (30) Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu.
2.2.4 Penatalaksanaan
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh “tim labio-palatoschisis” yang terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial, terapis bicara dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi, psikoloog, dan perawat spesialis. Perawatan dan dukungan pada bayi dan keluarganya diberikan sejak bayi tersebut lahir sampai berhenti tumbuh pada usia kira-kira 18 tahun. Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada saat usia anak 3 bulan. (5)
Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu : (24)
1. Tahap sebelum operasi
Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu , jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu kecil sehingga
membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang terbelah.
Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba. (24)
2. Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.
Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit dicapai. (19) Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8–9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.(24)
Gambar 2.2 Reparasi labioschisis (labioplasti). (A and B) pemotongan sudut celah pada bibir dan hidung. (C) bagian bawah nostril disatukan dengan sutura. (D) bagian atas bibir disatukan, dan (E) jahitan memanjang sampai kebawah untuk menutup celah secara keseluruhan. (33)
3. Tahap setelah operasi.
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat. (24)
Gambar 2.3 Sebelum dan sesudah tindakan operasi. (14)
Cara menyusui bagi ibu yang memiliki anak dengan bibir sumbing:
a. Memberi tahu ibu kepentingan ASI untuk bayinya,
b. Usaha untuk menutup celah atau sumbing bibir agar bayi dapat memegang puting dan areola dalam mulutnya waktu menyusui (jari ibu atau plak gigi yg khusus atau obturator), kadang-kadang payudara ibu menutup celah itu.
c. Memerah susu dan memberikan kepada anaknya menggunakan cangkir atau sendok teh.(36)
2.2.5 Prognosis
Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat dimodifikasi/ disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik pembedahan yang makin berkembang, 80% anak dengan labioschisis yang telah ditatalaksana mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara yang berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-masalah berbicara pada anak labioschisis. (33)
2.3 Prevalensi Bibir dan Langit-Langit Sumbing
Bibir sumbing langit-langit (palatum) secara rutin terkait dengan lebih dari 200 sindrom / malformasi. Insidensinya bervariasi antar kelompok etnis sebagai berikut: American Indian (3.6:10,000), Asia (3:1000), dan Amerika Afrika (0.3:1000).(9)
Bibir sumbing dan / atau dengan langit-langit terbelah adalah kelainan bawaan yang sering dilihat di seluruh dunia. Rata-rata, sekitar 1 dalam setiap 500-750 kelahiran hidup menghasilkan sumbing. Selain itu, di Amerika Serikat, prevalensi untuk bibir sumbing dengan atau tanpa langit-langit terbelah adalah 2,2-11,7 per 10.000 kelahiran. Sumbing langit-langit saja menghasilkan tingkat prevalensi 5,5-6,6 per 10.000 kelahiran. (10) Bibir sumbing, langit-langit mulut, atau keduanya adalah salah satu kelainan bawaan yang paling umum dan memiliki tingkat kelahiran prevalensi berkisar dari 1 / 1000 sampai 2.69/1000 antara berbagai belahan dunia.(20)
Orang Afrika Atau Afrika Amerika
Satu per 2.500 Afrika Amerika dilahirkan dengan sumbing. (27) Afrika-Amerika memiliki tingkat prevalensi yang lebih rendah dari bibir dan/atau langit-langit sumbing bila dibandingkan dengan orang Kaukasia. Tingkat prevalensi sebesar 0,61 per 1.000 dan 1,05 per 1.000 kelahiran hidup masing-masing dilaporkan oleh Croen, Shaw, Wasserman dan Tolarova (1998). (7) Di Malawi dilaporkan terdapat tingkat prevalensi yang rendah untuk bibir sumbing dan / atau langit-langit, 0,7 per 1.000 kelahiran hidup.(23)
Amerika Latin Dan Penduduk Latin Asli
Amerika Latin berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dan Karibia. Prevalensi Amerika Latin lebih rendah daripada Kaukasia dan penduduk asli Amerika, namun masih lebih tinggi daripada Afrika Amerika. (7) Orang latin memiliki prevalensi sumbing sebesar 9,7 per 10.000 kelahiran hidup.(15) Dalam Sucre, tingkat prevalensi bibir dan/atau langit-langit sumbing di Bolivia adalah 1,23 per 1.000 kelahiran hidup. (20)
Yordania
Al Omari et al. (2004) meneliti prevalensi sumbing selama periode sebelas tahun di Yordania dan menemukan tingkat keseluruhan sebesar 1,39 per 1.000 kelahiran hidup untuk bibir dan/atau langit-langit sumbing .(1)
Gambar 2.4 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Eropa
Amerika Serikat
Hawaii adalah negara bagian Amerika Serikat yang memiliki populasi yang sangat beragam yang terdiri dari 73% orang Asia dan Kepulauan Pasifik keturunan. Forrester & Merz (2004) menemukan bahwa tingkat prevalensi bibir dan/atau langit-langit sumbing per 10.000 kelahiran hidup di Hawaii adalah: 10 pada orang Kaukasia, 16 pada orang-orang keturunan Asia Timur Jauh, 11 pada orang-orang keturunan Kepulauan Pasifik, dan 14,5 pada orang keturunan Filipina.(10)
Gambar 2.5 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Amerika
Indonesia
Berdasarkan Pikiran Rakyat On Line tanggal 1 Juni 2009, disebutkan bahwa jumlah penderita bibir sumbing atau celah bibir di Indonesia bertambah 3.000-6.000 orang setiap tahun atau satu bayi setiap 1.000 kelahiran adalah penderita bibir sumbing.(25)
Berdasarkan data dari Yayasan Pembina Penderita Celah Bibir dan Langit-Langit (YPPCBL) kepada Radar Bandung tahun 2008, bahwa sejak tahun 1979 sampai tahun 2008 operasi dan perawatan bibir sumbing mencapai 11.472 di seluruh Indonesia atau 395 orang per tahun.RADARBANDUNG Sedangkan pada tahun 2009 Ketua Pengurus YPPCBL kepada harian Kompas menyatakan bahwa saat ini diperkirakan jumlah penderita bertambah 6.000-7.000 kasus per tahun. Namun, karena berbagai macam kendala, jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal. Hanya 1.000-1.500 pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi. (16)
Gambar 2.6 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Asia, Timuh Tengah, Australia dan Oseania, Afrika
2.4 Pengaruh Lingkungan
Pengaruh lingkungan juga dapat menyebabkan, atau berinteraksi dengan genetika untuk memproduksi, celah orofacial. Sebuah contoh bagaimana faktor lingkungan dapat dihubungkan dengan genetika berasal dari penelitian tentang mutasi pada gen PHF8 yang menyebabkan celah bibir / langit-langit. Ditemukan bahwa PHF8 mengkodekan demethylase lisin histone, (17) dan terlibat dalam regulasi epigenetik. Aktivitas katalitik PHF8 tergantung pada oksigen molekuler, (17) fakta yang dianggap penting sehubungan dengan laporan mengenai kejadian peningkatan celah bibir / langit-langit pada tikus yang telah terkena hipoksia dini selama kehamilan. (21) Pada manusia, bibir sumbing janin dan kelainan bawaan lain juga telah dihubungkan dengan hipoksia ibu, seperti yang disebabkan oleh misalnya ibu merokok, (26) ibu penyalahgunaan alkohol atau beberapa bentuk pengobatan hipertensi ibu (13) faktor lingkungan lain yang telah dipelajari meliputi: penyebab musiman (seperti eksposur pestisida);. diet ibu dan asupan vitamin; retinoid - yang merupakan anggota vitamin A keluarga; obat-obatan antikonvulsan, alkohol, penggunaan rokok; senyawa nitrat, pelarut organik, paparan orangtua untuk memimpin, dan obat-obatan terlarang (kokain, heroin, dll).
2.5 Pengaruh Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi memiliki variabel-variabel yang berkaitan dengan kontribusi terhadap terjadinya bibir dan/atau langit-langit sumbing , seperti gizi, merokok, alkohol,penyakit dan infeksi. Faktor-faktor tersebut cenderung telah diteliti secara retrospektif pada beberapa negara di dunia dan studi tersebut sekarang dilakukan secara prospektif di Denmark dan Norwegia yang berhubungan dengan hasil reproduksi. Aspek lain dari gizi yang belum secara baik dipelajari adalah efek dari obesitas / kelaparan dan hal tersebut mungkin berguna untuk studi di masa depan untuk menilai tinggi dan berat badan untuk mendapatkan ukuran indeks massa tubuh sehingga diperoleh kaitannya dengan celah orofacial.
Bukti untuk prevalensi celah orofasial yang lebih banyak terjadi pada masyarakat kelas sosial ekonomi rendah masih samar-samar.
2.6 Aspek Psikologis Terhadap Individu Bibir Sumbing
Memiliki bibir dan/atau langit-langit sumbing mengakibatkan masalah psikososial. Sebagian besar anak yang telah dioperasi celahnya dapat memiliki masa anak-anak yang bahagia dan kehidupan sosial yang sehat. Namun, penting untuk diingat bahwa pada remaja dengan bibir dan/atau langit-langit sumbing dapat meningkatkan risiko adanya masalah psikososial khususnya yang berkaitan dengan konsep diri, romantika, dan penampilan. Hal ini penting bagi orang tua untuk menyadari permasalahan psikososial anak remaja mereka agar dapat menghadapi masalahnya dan mengetahui di mana mencari bantuan tenaga profesional jika masalah timbul.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa masalah komunikasi berhubungan dengan bibir dan langit-langit sumbing yang tampak pada masa anak-anak. Penelitian perkembangan anak pada bibir dan langit-langit sumbing pada infant dan toddler (anak baru bisa berdiri dan berjalan), atau sejak lahir sampai usia 3 tahun, menyatakan bahwa bibir sumbing pada todler memiliki penundaan atau keterlambatan perkembangan dalam daerah bahasa ekspresif pada usia 36 bulan. Respon negatif dari orang lain, secara nyata atau hanya perasaan saja, dapat mempengaruhi kesan terhadap diri sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa pilihan untuk menarik secara individual mempengaruhi harga diri, kompentensi sosial, dan penilaian terhadap daya tarik di masa depan. Daya tarik fisik menunjukkan peran yang signifikan dalam kehidupan sosial seperti membangun hubungan kekerabatan dalam setiap tahap kehidupan, sekolah, romantika, kerja dan lain-lain. Penerimaan sosial seringkali tergantung pada fisik seseorang. Hubungan tersebut antara kecantikan secara fisik dan penerimaan sosial merupakan hambatan pada orang dengan bibir dan langit-langit sumbing dalam berkomunikasi. (2)
Sudah menjadi bukti bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki orang dengan bibir dan langit-langit sumbing mengalami berbagai kesulitan. Oleh karena itu, keterbatasan tersebut dibangun dalam banyak periode waktu karena masalah psikologis yang dihadapi. Sebagai contoh, gangguan komunikasi pada individu dengan bibir dan langit-langit sumbing tidak dihasilkan dari gangguan bicaranya (fonasinya) namun dari masalah psikologis yang dapat mempengaruhi keseluruhan perkembangan anak. Gangguan kecemasan dan depresi dilaporkan mempunyai prevalensi dua kali lebih besar pada orang dewasa bibir dan langit-langit sumbing dibandingkan kontrol normal. Kecemasan, depresi dan palpitasi dilaporkan dua kali lebih sering pada orang bibir dan langit-langit sumbing dibandingkan dengan kontrol, dan masalah psikologis ini memiliki hubungan yang kuat dengan hal-hal menyangkut penampilan, pertumbuhan gigi, dialog, dan hasrat untuk pengobatan lebih lanjut. Masalah psikologis yang didapat oleh anak dengan bibir dan langit-langit sumbing tidak hanya terbatas pada anak/individualnya saja, tetapi juga pada orang tuanya. Penelitian menunjukkan orang tuanya dapat mengalami krisis mental, disebabkan latar belakang orang tuanya, juga stres ketika membawa anak dengan bibir sumbing. (2)
2.7 Pencegahan
1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang menggunakan tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah-celah orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan sebanyak 20% dari celah orofacial yang terjadi pada populasi negara itu. (35)
Lebih dari satu miliar orang merokok di seluruh dunia dan hampir tiga perempatnya tinggal di negara berkembang, sering kali dengan adanya dukungan public dan politik tingkat yang relatif rendah untuk upaya pengendalian tembakau. (Aghi et al.,2002). Banyak laporan telah mendokumentasikan bahwa tingkat prevalensi merokok pada kalangan perempuan berusia 15-25 tahun terus meningkat secara global pada dekade terakhir (Windsor, 2002). Diperkirakan bahwa pada tahun 1995, 12-14 juta perempuan di seluruh dunia merokok selama kehamilan mereka dan, ketika merokok secara pasif juga dicatat, 50 juta perempuan hamil, dari total 130 juta terpapar asap tembakau selama kehamilan mereka (Windsor, 2002). (35)
2. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol syndrome). Pada tinjauan yang dipresentasikan di Utah Amerika Serikat pada acara pertemuan konsensus WHO (bulan Mei 2001), diketahui bahwa interpretasi hubungan antara alkohol dan celah orofasial dirumitkan oleh bias yang terjadi di masyarakat. Dalam banyak penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping, namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan murni karena alkohol. (35)
3. Memperbaiki Nutrisi Ibu
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang normal dari fetus.
a. Asam Folat
Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya enan celah orofasial sulit untuk ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat dari sumber makanan memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen asam folat biasanya diambil dengan vitamin, mineral dan elemen-elemen lainnya yang juga mungkin memiliki efek protektif terhadap terjadinya celah orofasial. Folat merupakan bentuk poliglutamat alami dan asam folat ialah bentuk monoglutamat sintetis. Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting pada setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik. Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau langit-langit sumbing. (35)
b. Vitamin B-6
Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya demikian juga kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid. Deoksipiridin, atau antagonis vitamin B-6, diketahui menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percoban. Namun penelitian pada manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B-6 dalam terjadinya vitamin B-6. (35)
c. Vitamin A
Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan peningkatan resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial lainnya. Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A jugadapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat. Pada penelitian prospektif lebih dari 22.000 kelahiran pada wanita di Amerika Serikat, kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada wanita yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa perikonsepsional. (35)
4. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan bahwa ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur). Teratogenesis karena trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada air yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini diketahui dari beberapa penelitian. namun tidak semua.(35) Maka sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait.
Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya celah orofasial. (35)
5. Suplemen Nutrisi
Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada manusia untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama kehamilan yang dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan. Hal ini dimotivasi oleh hasil baik yang dilakukan pada percobaan pada binatang. Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di Amerika Serikat namun penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan tidak ada analisis statistik yang dilaporkan. Penelitian lainnya dalam usaha memberikan suplemen multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan di Eropa dan penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah efektif, namun penelitian tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk mengevaluasi hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian pencegahan terjadinya celah orofasial adalah mengikutsertakan banyak wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya. (35)
BAB III
KESIMPULAN
Bibir sumbing merupakan penyakit cacat bawaan. Penyebabnya terjadinya bibir sumbing ialah multifaktorial, seperti genetik, nutrisi, lingkungan, bahkan sosial ekonomi. Jumlah penderita bibir sumbing di Indonesia bertambah 3.000-6.000 setiap tahun atau 1 bayi setiap 1.000 kelahiran. Namun, jumlah total penderita bibir sumbing di Indonesia belum diketahui secara pasti. Penderita bibir sumbing dapat diperbaiki dengan jalan operasi, namun memerlukan biaya yang besar, sedangkan kesempatan penderita yang menjalani operasi setiap tahunnya hanya sekitar 1.500 orang, angka ini masih jauh dari idealnya sehingga tindakan-tindakan pencegahan sebaiknya lebih diutamakan.
Hubungi aja 02291339839
Jangan berpikir macam2 dulu Dok, he2... SMS aja dulu...
Salam TS
boleh minta daftar pustakanya ga dok? tolong diimail ke nmr aninonanonano@yahoo.com. terimakasih dok sebelumnya
BalasHapusapo boleh minta daftar pustakanya? mohon email ke rachmabrata.dr@gmail.com
BalasHapusbtk
boleh minta dapusnya dok?
BalasHapusbisa tolong krim ke email thatasuryantari@gmail.com
terimakasih
dok, boleh minta daftar pustakanya..? tolong dikirim ke ms.gustiayu23@gmail.com dok.. untuk bahan skripsi.. hehe terima kasih banyak dokter..
BalasHapusmaaf, noleh minta dapusnya nggak? terima kasih
BalasHapus